Senin, 26 September 2011

Sambungan kumpulan kisah wali ALLAH

Perbedaan Antara Karamah Dan Istidraj

Perlu diketahui bahwa siapa saja yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Allah, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti penghormatan Allah untuk hamba-Nya (karamah) atau tipuan untuknya (istidraj). Dalam Al-Qur'an, istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah:
1. Al-istidraj, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
Kami (Allah) akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A'raf [7]: 182)
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
2. Al-makr, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
  • Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A'raf [71: 99)
  • Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali'Imran [31:54)
  • Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari. (OS Al-Naml T271:50)
3. Al-kaid (tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Allah,
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-Nisa' [4]: 142)
4. Al-imla (memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS Ali 'Imran [3]: 178)
5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. (QS Al-An'am [6]: 44)
Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah
karamah tetapi istidraj.
Orang-orang yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:
Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.
Hujjah kedua: Karamah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
Hujjah ketiga: Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah karena merasa amal perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.
Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt."
Hujjah keempat: Pemilik karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karamah yang dimilikinya, maka batallah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima karamah. Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau selalu mengakhirinya dengan kalimat, "Tiada kebanggaan," maksudnya "Aku tidak bangga dengan karamah yang kumiliki ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karamah."
Hujjah kelima: Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal'am begitu menakjubkan, tetapi kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal'am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu'ah [62]: 5), juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang membangkang (QS Ali 'Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.
Hujjah keenam: Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan. Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa." Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu-hnya setiap ia melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya ia melihat penciptanya.
Hujjah ketujuh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir'aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A'raf [7]: 12) dan Fir'aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang membanggakan diri."
Hujjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.
Hujjah kesembilan: Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan ('ubudiyah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan kepada budaknya. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai peng-
hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)
Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu. Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqan [25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.
Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.


Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya

Ustad Abu Bakar bin Faurak mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali. Sementara Ustad Abu 'Ali al-Daqaq dan Abu Qasim al-Qusyairi (muridnya) mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua pendapat yang berseberangan ini cukup banyak.
Alasan pertama: Kalau seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka ia akan merasa aman, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati (QS Yunus [10]: 62). Akan tetapi meraih keyakinan rasa aman itu tidak diperbolehkan, karena beberapa alasan:
1) Allah berfirman, Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi (QS Al-A'raf [7]: 99). Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir (QS Yusuf [12]: 87). Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56). Artinya, rasa aman hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya lemah, keputusasaan hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit. Keyakinan yang lemah dan sedikit kepada hak-hak Allah adalah perbuatan kufur, maka orang yang merasa aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang kafir.
2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.
3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman menyebabkan hilangnya rasa takut.
4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya' [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadap-Nya.
Alasan kedua: Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah, demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia yang tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan terbatas tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas. Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal sebelumnya ia mencintai-Nya, terkadang juga seorang hamba taat kepada-Nya saat ini padahal dulunya ia bermaksiat terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan alasannya. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-Nya karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia yang tidak bisa dilihat, maka Nabi Isa a.s. berkata. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. (QS Al-Maidah [5]: 116)
Alasan ketiga: Seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali karena hukum yang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan, dalilnya adalah firman Allah yang menyatakan, Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa membawa amal yang buruk maka dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya (QS Al-Maidah [6]: 160). Firman Allah tersebut bukan berbunyi, Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan. Yang memperkuat pendapat ini adalah dalil yang menyatakan bahwa apabila seseorang menghabiskan seluruh usianya dalam kekufuran, lalu di akhir hayatnya ia masuk Islam, maka ia termasuk golongan orang yang mendapatkan pahala, begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa yang penting adalah akhirnya bukan awal perbuatannya. Karena itu, Allah berfirman, Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, "Jika mereka berhenti dari kekufuran, niscaya Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu" (QS Al-Anfal [8]: 38). Jadi, ketetapan bahwa seseorang termasuk wali atau musuh Allah, orang yang mendapat pahala atau mendapat siksa terletak di akhir hidupnya. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak diketahui oleh seorang pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak bisa mengetahui bahwa dirinya wali.
Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur:
  1. Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada syariat.
  2. Secara batiniah, ia tenggelam dalam cahaya hakikat.
Apabila seseorang telah mencapai dua unsur ini dan orang-orang mengetahui manifestasi dari dua unsur di atas, maka eksistensi kewaliannya bisa diketahui. Kepatuhan kepada syariat secara lahir terlihat dari tindakan lahir, sementara tenggelamnya batin dalam cahaya hakikat berupa kesenangan menaati Allah dan mengingat-Nya, tiada sesuatu pun dalam dirinya selain Allah.
Banyak kesalahan yang samar dalam pembahasan tentang apakah wali mengetahui kedudukannya sebagai wali atau tidak, penetapannya sulit, pengalamannya membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api dan terkadang berupa cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia.
Sayyid 'Abdul Ghani al-Nabulusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip penuturan Imam Barkawi yang menyatakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba'nya (ketaatannya) kepada Nabi Saw., didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh. Adapun kejadian luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat, yang muncul di tangan orang yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma'unah. Ma'unah adalah kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan hal-hal yang tidak disukai, disertai keyakinan yang benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan dengan mengikuti Nabi Saw. Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk mengokohkan kebohongan para pendusta, seperti meludahnya Musailamah ke dalam sumur air tawar agar airnya terasa manis, tetapi yang terjadi justru airnya asin dan pahit.
Al-Laqani menyatakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Nabi yang tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah orang yang 'arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu. Al-Sa'di mengungkapkan dalam kitab Syarh al-'Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu, keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang, hanya saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang dimudahkan dan dihalalkan baginya.
Karamah para wali adalah kebenaran yang ditegaskan dalam nash Al-Qur'an, di antaranya dalam kisah Maryam, Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia mendapati makanan di sisi Maryam. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh semua makanan ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 37). Maryam berada dalam asuhan Zakaria a.s., dan tak seorang pun pernah masuk ke dalam mihrab Maryam, selain Zakaria. Bila Zakaria keluar dari sana, tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap Zakaria masuk ke mihrab Maryam, ia menemukan buah-buahan musim dingin pada musim panas, dan menemukan buah-buahan musim panas ketika cuaca dingin. Zakaria merasa heran dan menanyai Maryam. Maryam menjawab bahwa semua itu adalah rezeki dari Allah, Dialah Pemberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Kisah lain dalam Al-Qur'an yang menegaskan adanya karamah adalah kisah tentang ashabul kahfi yang tinggal dalam gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan kisah tentang Asif bin Barkhiya yang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Karamah para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan orang-orang saleh sesudahnya diriwayatkan secara mutawatir dalam hal makna atau inti ceritanya walaupun perinciannya disampaikan secara ahad.
Dalam kitabnya, Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, "Orang-orang yang mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid'ah. Anehnya, meskipun mereka belum pernah meyaksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para pemimpin mereka padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka, karena mereka tidak mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat pilihan. Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham r.a. di Basrah dan Mekah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini hal-hal tersebut adalah kafir. Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika ia ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka'bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab, 'Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin saja bagi orang yang mengikuti Sunnah Nabi Saw. yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat.' Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan Syafi'i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat."
Ibnu Hajar al-Haitami al-Syafi'i menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain yang di sana matahari belum terbenam, padahal ia telah melakukan shalat magrib di negeri pertama, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya. Munculnya makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada para wali, kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja'far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali. Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid 'Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah.
Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi'i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wa al-jama'ah dan para syaikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu di luar adat yang muncul dari karamah para wali. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin 'Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi. Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi'i berkata, "Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah ahlus sunnah wa al-jama'ah. Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata, dan tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada mukjizat."
Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional, lagi pula kemunculannya tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi keberadaannya. Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya. Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah. Dalilnya adalah bahwa ilmu ma'rifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan yang abstrak. Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang hanya berpura-pura mengaku wali. Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk menyatakan kebenaran keadaannya.
Banyak ulama membahas perbedaan antara karamah dan mukjizat, salah satunya adalah Imam Abu Ishaq al-Asfaraini yang menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran para nabi dan dalil kenabian yang hanya ada pada nabi, sedangkan wali memiliki karamah seperti terkabulnya doa, tetapi mereka tidak memiliki mukjizat seperti
yang dimiliki para nabi.
Imam Abu Bakar bin Faurak R.A. menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai nabi maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai wali, maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut karamah, bukan mukjizat, meskipun serupa dengan mukjizat, tetapi memiliki perbedaan yang nyata.
Al-Qusyairi mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang mukjizat pada masanya yaitu Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy'ari r.a. yang menyatakan, "Mukjizat dikhususkan bagi para nabi, sedangkan karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat mukjizat adalah jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak disebut mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut mukjizat karena adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan mukjizat. Satu dari beberapa syarat mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah mukjizat."
Al-Qusyairi menegaskan, "Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamnya. Semua syarat mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam karamah, kecuali syarat pengakuan kenabian saja."
Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan, kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirinya.
Al-Qusyairi berkata, "Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali, bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para nabi yang harus memiliki mukjizat, karena mereka diutus kepada manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan mukjizat. Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain."
Masih menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan karamah yang muncul pada dirinya tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk menegaskan bahwa karamah adalah perbuatan Allah, yang dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. Singkatnya kemunculan karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli ma'rifat. Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi karamah, baik berupa khabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah karamah, didukung dengan hikayat dan khabar mutawatir, maka ia tidak akan meragukan karamah.
Al-Qusyairi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur'an tentang sahabat Nabi Sulaiman yang berkata, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip" (QS Al-Naml[27]: 40), padahal ia bukan seorang nabi. Juga riwayat tentang Umar bin Khattab R.A. yang tiba-tiba berkata, "Hai para kabilah di atas gunung!" padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.
Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan karamah para wali di atas mukjizat para nabi, dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para wali terkait dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw., karena setiap orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan karamah. Setiap nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah seorang umatnya, maka karamah itu termasuk mukjizatnya. Jika seorang rasul tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul karamah pada umatnya. Adapun tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para nabi berdasarkan dalil ijma' (kesepakatan ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan.
Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang
ternak, atau hewan-hewan lain.
Al-Qusyairi mengungkapkan,
"Wali adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah Swt, maka Dia akan menjaga dan melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat maksiat. Dia akan melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya," Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196). Para wali bukan orang yang ma'shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang yang terjaga, sehingga tidak terus menerus berada dalam dosa."
Sahal bin 'Abdullah berkata, "Siapa yang zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan kejujuran dari lubuk hatinya, maka muncullah karamah padanya. Bila tidak muncul karamah, berarti zuhudnya tidak benar." Lalu ada yang bertanya kepada Sahal, "Bagaimana cara karamah tampak padanya?" Sahal menjawab, "Dengan memperoleh segala yang diinginkannya."
Karamah paling agung yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.
Syaikhul Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a. mengemukakan dalam kitabnya Mawaqi' al-Nujum wa Mathali' Ahl al-Asrar wa al-'Ulum bahwa Nabi Isa A.S. memperoleh kedudukan yang mulia dan penglihatan yang agung berupa kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra dengan izin Allah. Demikian juga Ibrahim A.S. mampu menghidupkan burung-burung; mengumpulkan bagian-bagian burung yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, kemudian mencampur daging-dagingnya. Ibrahim memanggil potongan-potongan burung, dan burung-burung tersebut segera datang kepadanya, semua terjadi dengan seizin Allah. Bukan hal yang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan memberinya karamah dan menampakkan karamah di tangannya. Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan ditunjukkan melalui tangannya. Kemuliaan karamah merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti Rasulullah dan tetap menaati batas-batas yang ditetapkan olehnya maka karamah adalah hal yang benar. Dalam persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa mukjizat Nabi SAW. adalah karamah bagi wali, ada juga yang menolak pendapat ini, ada juga yang berpendapat bahwa wali memiliki karamah yang bukan merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw.
Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan karamah karena mereka melihatnya ada pada diri mereka sendiri dan rekan-rekan mereka, karena mereka adalah orang yang mencapai tingkatan kasyf dan dzauq. Jika kami mengungkapkan karamah-karamah yang kami saksikan dan cerita-cerita dari orang-orang tsiqah (tepercaya) tentang karamah, pasti orang yang mendengarnya akan mendustakannya, bahkan mungkin mencelanya. Hal itu dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang yang menampakkan karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka yang memandang rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya terhadap orang yang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah, tentu kebingungan dan sikap mereka yang mendustakannya tidak akan muncul.
Ibnu 'Arabi menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masanya yang berkata, "Seandainya aku melihat kejadian luar biasa muncul dari tangan seseorang, niscaya aku akan menganggap peristiwa tersebut dusta menurut logikaku, tetapi jika memang peristiwa itu benar-benar terjadi dan menurutku itu mungkin maka sesungguhnya jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang luar biasa di tangan seseorang, pastilah akan terjadi."Ibnu 'Arabi mengomentari orang itu, "Lihatlah! Alangkah tebal penghalang ini, begitu ingkar dan bodohnya ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan kita dan tangannya serta cahaya mata hatinya."
Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatnya berbicara panjang lebar tentang ketetapan adanya karamah para wali dan menyatakan kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah menjelaskan beberapa karamah sahabat Nabi SAW., ia berkata, "Peristiwa-peristiwa luar biasa yang muncul dari tangan para sahabat yang telah kami ceritakan akan diterima orang yang memiliki bashirah(penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan dalil-dalil khusus untuk mematahkan kekacauan pandangan para penentang karamah dan menangkis argumen mereka. Menurut kami, ada beberapa macam dalil tentang penetapan karamah:
  1. Cerita yang tersebar dan terdengar yang tidak diingkari, kecuali oleh orang bodoh dan orang yang menolak karamah para ulama dan orang saleh, seperti keberanian 'Ali dan kedermawanan Hatim. Mengingkari karamah itu lebih besar tingkat kedurhakaannya, karena karamah lebih dikenal dan lebih nyata, dan hanya orang yang hatinya tertutup yang menentang adanya karamah.
  2. Kisah Maryam yang hamil tanpa suami, tersedianya kurma segar dari batang kurma kering untuknya, dan adanya makanan yang bukan musimnya di sisi Maryam tanpa sebab. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia menemukan makanan di sisinya. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?" Maryam menjawab, "Semua ini dari Allah" "(QS Ali 'Imran [31:37), padahal Maryam bukan seorang nabi.
  3. Kisah ashabul kahfi (penghuni gua) yang tertidur dalam sebuah gua selama 300 tahun lebih tanpa terkena penyakit dan tetap kuat seperti sediakala meski tanpa makan dan minum. Hal itu termasuk menyalahi kebiasaan manusia. Mereka bukan nabi, jadi semua yang mereka alami bukanlah mukjizat, melainkan karamah.
  4. Kisah Asif bin Barkhiya dengan Sulaiman a.s. ketika memboyong singgasana Ratu Bilqis sebelum Sulaiman mengedipkan matanya. Kebanyakan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Asif dalam kisah tersebut adalah orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab. Kami telah memengemukakan kisah-kisah tentang karamah beberapa sahabat dan orang-orang sesudah mereka yang disampaikan secara mutawatir. Kalau saja ada seseorang yang mau mencurahkan segala daya untuk meneliti kisah-kisah tersebut, tentu akan diperoleh data yang berlimpah. Sejak dulu sampai sekarang selalu ada orang-orang seperti itu, bahkan kami mengambil kesimpulan dari kisah-kisah yang ada pada mereka. Pada masa mereka, orang-orang yang cendekia hanya sedikit sedangkan orang-orang yang menyimpang sangat banyak. Mereka mempercayai karamah orang-orang yang saleh dan meriwayatkan kisah-kisah tentang hal tersebut dari Bani Israil dan orang-orang sesudah mereka, dan para sahabat termasuk orang yang bercerita tentang kisah-kisah seperti ini secara panjang lebar.
Allah menganugerahkan ilmu-ilmu para ulama dan wali, sehingga mereka mampu menyusun banyak kitab yang tidak mungkin mampu disusun oleh orang selain mereka dalam waktu sepanjang usia pengarangnya, mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan, menemukan hal yang menggembirakan orang yang memiliki kecerdasan, mengambil banyak makna dari Al-Quran dan hadis yang dapat diterapkan dalam kehidupan dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan, bersabar dalam mujahadah (berjihad) dan riyadhah (melakukan olah spiritual), menyerukan kebenaran dan sabar terhadap berbagai penderitaan, mengekang diri dari kenikmatan duniawi dengan kesadaran total, tekun mencintai ilmu dan gigih untuk memperolehnya. Jika seseorang merenungkan anugerah Allah yang diberikan kepada para ulama dan wali di atas, maka ia akan mengetahui bahwa yang diberikan kepada mereka lebih besar daripada yang diberikan kepada sebagian hambanya, seperti munculnya roti di tanah yang gersang dan air di padang sahara yang tandus dan sejenisnya yang dapat dianggap sebagai karamah.
Dalam pembahasan ke-29 tentang al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-Sya'rani r.a. berkata, "Ketahuilah, mayoritas ulama berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi bisa menjadi karamah bagi wali. Berbeda dengan kaum Mu'tazilah dan Syaikh Abu Ishaq al-Isfiraini yang berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi tidak mungkin menjadi karamah bagi wali. Karamah bisa berupa terkabulnya doa atau munculnya air di padang sahara yang biasanya tidak ada air, dan beberapa peristiwa luar biasa lainnya. Pada bab ke-187 dalam kitab Al-Futuhat, Syaikh Muhyiddin Ibnu 'Arabi berkata, "Pendapat Abu Ishaq al-Isfaraini benar, hanya saja saya mensyaratkan satu syarat lain yang tidak disebutkan olehnya. Menurut saya, mukjizat tidak mungkin menjadi karamah bagi wali, kecuali sang wali melakukan perbuatan luar biasa untuk menegaskan kebenaran nabinya, bukan demi karamah itu sendiri. Hal tersebut tidaklah dilarang seperti yang terkenal di kalangan para wali, kecuali jika ketika karamah muncul, sang nabi melarangnya pada waktu tertentu atau selama hidupnya. Oleh karena itu, diperkenankan melakukan karamah bagi selain rasul sesudah zamannya berakhir. Namun, bila nabi tersebut membiarkannya melakukan karamah dan tidak memberi batasan, maka apa yang diucapkan oleh Abu Ishaq tidak bisa direalisasikan."
Syaikh Muhammad bin 'Ali al-Mahalli dalam Syarh Taiyati al-Imam al-Subki menyenandungkan syair mengomentari perkataan penulis; "Setiap waktu kalau kamu memperhatikan orang yang akalnya mencapai puncak menyaksikan munculnya mukjizat yang baru."
Syihabuddin al-Suhrawardi mengatakan, "Para wali terkadang memiliki berbagai macam karamah, seperti mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin, melipat bumi, dan mengetahui sebagian peristiwa sebelum terjadinya karena berkah mengikuti Rasulullah SAW. Karamah wali adalah penyempurnaan mukjizat para nabi." Artinya, setiap wali yang memiliki karamah sesudah nabinya, maka karamah tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukjizat nabinya. Jadi, karamah milik orang-orang yang saleh dalam umat ini adalah penyempurnaan bagi mukjizat Nabi Muhammad SAW. Adanya para wali di bumi ini termasuk dalam mukjizat nabi yang terus menerus, karena dengan adanya mereka kebutuhan para hamba terpenuhi, dengan berkah mereka bencana yang akan menimpa suatu negeri tertolak, dengan doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adanya mereka hilanglah siksa.
Hikmah banyaknya karamah para wali di kalangan umat Muhammad adalah menunjukkan kepemimpinan Nabi Saw. atas keseluruhan nabi, dengan melimpahnya mukjizat pada masa hidup dan sesudah wafatnya. Dan karena Nabi Saw. adalah penutup para nabi dan kekasih Tuhan Penguasa alam serta karena kelanggengan agama yang diembannya hingga akhir masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab yang membenar-kan Nabi juga terus berlangsung. Di antara sebab-sebabnya yang paling kuat adalah adanya karamah-karamah di kalangan umatnya, yang pada hakikatnya serupa dengan mukjizat Nabi Saw., yang memperkuat eksistensi Al-Qur'an sebagai induk mukjizat, kumpulan ayat-ayat penjelasan, firman Allah yang qadim, peringatan-Nya yang bijak, yang tidak didatangkan oleh-Nya kebatilan dari hadapan dan belakangnya, yang diturunkan oleh Sang Maha Bijak lagi Maha terpuji, dan penguat hadis Nabi Saw. tentang tanda-tanda terjadinya kiamat dan lain-lain secara berangsur-angsur. Dengan adanya karamah, seolah-olah Nabi SAW. berada di tengah-tengah umatnya, menyaksikan mukjizatnya sesudah beliau wafat sebagaimana umatnya menyaksikan mukjizat Nabi ketika beliau masih hidup. Allah berfirman, "Supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya" (QS Al-Muddatsir [74]: 31). Allah akan memberi petunjuk menuju agama-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk kepada orang-orang yang sebelumnya tidak beriman.
Banyaknya karamah diketahui dari banyaknya wali dari kalangan umat Nabi SAW. yang muncul di setiap masa, seperti yang dijelaskan oleh Muhyiddin Ibnu 'Arabi dan yang lainnya berdasarkan hadis yang menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan pengetahuan sahih yang menyatakan bahwa para nabi berjumlah 124.000. Tidak diragukan lagi bahwa dari tangan mereka muncul sangat banyak karamah, dan seluruh karamah itu merupakan mukjizat bagi Nabi SAW. Jadi, mukjizat Nabi SAW. itu berlipat ganda, tidak berbilang, dan tidak berbatas. Hikmah banyaknya karamah dan keberlangsungannya sebagaimana yang telah kami kemukakan adalah penyebab munculnya karamah di tangan para sahabat lebih sedikit ketimbang di tangan para wali, karena tetapnya kebenaran agama disebabkan oleh bertambahnya iman orang-orang mukmin dan hidayah untuk orang-orang yang belum beriman. Pada masa sahabat, muncul begitu banyak mukjizat Nabi Saw. yang bisa disaksikan setiap saat dalam beraneka ragam jenisnya. Meskipun karamah para sahabat juga dianggap sebagai mukjizat Nabi SAW., seperti halnya seluruh karamah para wali, hanya saja kebutuhan ter hadap karamah para sahabat lebih kecil dibanding kebutuhan terhadap karamah para wali.
Al-Taj al-Subki juga menjelaskan dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat banyak, karamah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali lainnya. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal R.A. hal itu dikarenakan para sahabat memiliki iman yang kuat sehingga tidak membutuhkan tambahan untuk memperkuat iman, sedangkan orang-orang selain mereka imannya lemah, sehingga memerlukan penguat iman dengan menampakkan karamah.
Syaikh Suhrawardi r.a. berpendapat senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para sahabat lebih sedikit daripada akramah para wali. Pertama, munculnya peristiwa-peristiwa luar biasa pada para wali akan menghilangkan lemahnya keyakinan mereka, sebagai rahmat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan sebagai pahala yang disegerakan, sedangkan para sahabat yang kedudukannya di atas para wali tidak mempunyai hijab (tabir) yang menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa. Kedua, barangkali para sahabat tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa karena merasa cukup dengan jumlah mereka yang banyak, merasa puas dengan memandang Nabi Muhammad SAW., dan senantiasa menempuh jalan istiqamah yang merupakan karamah terbesar. Meskipun dunia dibukakan di tangan mereka, mereka tidak meliriknya, tidak mendekatinya, dan tidak memintanya, sehingga Allah meridhai mereka. Kenikmatan duniawi yang ada di tangan mereka berlipat-lipat banyaknya daripada yang ada di tangan kita, tetapi penolakan mereka terhadapnya begitu besar dan ini merupakan karamah terbesar bagi mereka. Mereka hanya ingin meninggikan agama Allah dan berada di dekat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.
Imam Qusyairi mengemukakan bahwa tidak tampaknya karamah seorang wali di dunia tidak mempengaruhi eksistensinya sebagai wali. Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan dalam syaraknya bahwa terkadang wali yang tidak ditampakkan karamahnya oleh Allah lebih utama daripada wali yang ditampakkan karamahnya. Sebab keutamaan terletak pada bertambahnya keyakinan bukan pada tampaknya karamah. Begitu juga Imam Yafi'i berpendapat senada bahwa wali yang memiliki karamah tidak mesti lebih utama daripada wali yang tidak memiliki karamah, bahkan terkadang wali yang tidak memiliki karamah lebih utama daripada yang memiliki karamah.
Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi menjelaskan dalam Mawaqi' al-Nujum, setelah menceritakan sejumlah karamah seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan lain-lain, "Semua wali yang sudah saya jelaskan adalah orang-orang yang memiliki maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-orang takwa nan terpilih, rijalullah dan para walinya, pusat masa dan wali-wali badai al-abda. Adapun permata merah, obat mukjizat yang mujarab, perbuatan yang bersih dari kekurangan, penguasa seluruh sifat, yang bebas dari segala malapetaka merupakan pengantin yang penglihatannya tersembunyi dalam tirai perlindungan, dalam kegaiban, dan naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal dan dikenal, tersingkap dan tersembunyi, yang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di tempat yang didiami anjing, atau badut yang dilempar dengan batu, tidak dipedulikan dan tidak dipandang orang, dan tertutup dari yang lain. Saya tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wali-wali yang terpilih dalam kondisi seperti permata yang ada pada masanya dan dalam wujud seperti mukjizat adalah wali-wali yang tidak memiliki karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu baginya, bukan terhadap persoalannya. Adapun kelanjutannya tiada jalan, hanya berupa rahasia yang samar."
Al-Qusyairi r.a. menjelaskan bahwa para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan yang sangat besar, hanya sedikit yang memperlihatkan karamah. Mereka tersembunyi dari manusia, kedudukan mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui bahwa seorang wali yang memiliki karamah lebih banyak daripada wali lainnya belum tentu memiliki keutamaan yang lebih. Begitu juga sebagian wali yang tidak memperlihatkan karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali yang memperlihatkan karamah. Mereka adalah pemilik keutamaan yang selalu memelihara derajat kewalian, jika tidak mengapa Allah Swt. memuliakan mereka dengan karamah dan menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar biasa. Para da'i palsu terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh, suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk. Mereka khawatir jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu masyarakat dan membuat mereka kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang paling buruk dan maksiat, dan orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan secara terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.
Penulis akan mengutip ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi yang memuat penjelasan hakiki berdasarkan kebenaran. Dalam bab 185 tentang mengetahui maqam wali yang tidak memperlihatkan karamah, ia menyatakan:
"Tidak memperlihatkan karamah bukanlah petunjuk ketidakwalian seseorang
Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar
Karamah itu terkadang tampak wujudnya
Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya
Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan
Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali
Dan karenanya engkau tak akan diabaikan
Menampakkan karamah wajib bagi para rasul
Dengannya, wahyunya benar-benar turun
"
Sebagaimana wajib bagi para Rasul untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah mereka demi dakwahnya, demikian juga wajib bagi wali yang mengikuti jejak Nabi untuk menyembunyikan karamahnya. Inilah madzhab jamaah, karena wali tidak diwajibkan untuk menyatakan kewaliannya. Tidak semestinya seorang wali mengaku memiliki karamah, karena hal tersebut tidak disyariatkan. Parameter syariat telah ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa penyeru agama Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta'dil (menganggap adil).
Apabila seorang wali keluar dari aturan syariat yang telah ditetapkan, padahal ia memiliki akal taklif, maka akibat perbuatan tersebut ditanggung dirinya sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada hal-hal yang disyariatkan. Jika seorang wali melakukan perbuatan yang mengharuskan adanya had (hukuman) menurut zahir syara', maka hakim wajib menetapkan hukuman atasnya. Meskipun para wali mungkin termasuk hamba-hamba yang diampuni dosa-dosanya atau diperbolehkan melakukan perbuatan yang diharamkan syara tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak terlepas dari hukuman di dunia jika menyalahi syara'. Akan tetapi di akhirat, Allah berkata kepada para pahlawan perang Badar tentang dimaafkannya perbuatan-perbuatan mereka. Hal ini juga dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, "Lakukan apa yang kau inginkan, karena Aku telah mengampunimu." Allah tidak berkata kepada mereka, "Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman syara' yang ditetapkan atasmu di dunia." Di dunia, wali tetap terkena hukum syara'. Seorang wali yang dikenai hudud akan diberi pahala dan sebenarnya ia tidak berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang yang senasib dengannya.
Sikap wali yang tidak menampakkan karamah adakalanya bersumber dari Allah, artinya Allah tidak membekali wali tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hambanya yang terpilih, atau terkadang wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia membiarkannya tetap menjadi milik Allah, sehingga ia tidak menampakkannya sama sekali. Kita melihat beberapa wali yang menjalani perilaku ini, sebagaimana yang dikatakan Sayyid Abu Su'ud bin al-Syibli al-Baghdadi r.a., seorang rasionalis pada masanya. Ada seseorang bertanya kepadanya, "Apakah Allah menganugerahi Anda karamah?" Ia menjawab, "Ya, sejak umur 25 tahun Allah telah memberi saya karamah dan saya meninggalkannya dengan baik, Allah ridha jika kita melaksanakan perintah-Nya untuk menjadikan-Nya sebagai wakil." Si penanya bertanya lagi, "Kemudian perintah apa lagi?" Al-Syibli menjawab, "Shalat lima waktu dan menanti kematian. Manusia itu laksana pengusir burung, mulutnya sibuk sementara kakinya terus melangkah." Si penanya berkata, "Betapa mengagumkan apa yang dikatakannya, kecuali perkataannya berikut ini:
"Kakinya memijak kuat dalam genangan kematian. Ia berkata padanya tanpa menepiskannya"
Demikianlah sikap seorang wali, kalau tidak demikian ia bukanlah seorang wali. Sayyid Muhyiddin berkata, "Berkaitan dengan penjelasan di atas, suatu ketika Allah berkata kepadaku secara rahasia, 'Barangsiapa menjadikan-Ku wakilnya, maka ia telah melindungi-Ku. Barangsiapa melindungi-Ku, maka ia telah meminta-Ku untuk menegakkan perhitungan yang telah ia jaga untuk-Ku.' Perintahnya berbalik dan urutannya berganti. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang diridhai dan dipilih-Nya. Di atas anugerah tersebut, ada anugerah yang senantiasa dicari seorang hamba. Seorang hamba yang teguh selalu sadar dengan kemampuannya. Allah hanya akan menjadikan orang yang memiliki akal dan anggota badan yang benar sebagai wakil-Nya. Jadi, tidak mungkin kebenaran bisa diganti:
"Kebenaran tetap kebenaran, makhluk tetap makhluk,hamba tetap hamba, dan Tuhan tetap Tuhan"
Apabila muncul peristiwa luar biasa seperti ini, menurut penulis, itu bukanlah karamah, karena karamah merujuk kepada orang yang menampakkannya. Mungkin ada yang sepakat dengan maqam ini seperti yang telah penulis sepakati dalam sidang yang kami hadiri pada 586 H. Seorang filosof menyampaikan kepada kami bahwa ia mengingkari kenabian berdasarkan batas yang ditetapkan oleh orang-orang Islam. Ia mengingkari kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh nabi, dan bahkan kebenaran itu tidak akan berubah. Pada waktu itu musim dingin dan hujan, Di hadapan kami ada tungku besar yang apinya menyala, kemudian si penyangkal dan pendusta itu berkata, "Orang awam mengatakan bahwa Ibrahim dilemparkan ke dalam api dan tidak terbakar di dalamnya, padahal api bersifat membakar benda yang bisa terbakar. Api yang disebutkan dalam Al-Qur'an dalam kisah Ibrahim merupakan kiasan tentang kemarahan dan dendam Namrud kepada Ibrahim. Api yang dimaksud adalah api kemarahan. Ibrahim dilempar ke dalam api, karena amarah itu ditujukan kepadanya, dan api kemarahan itu tidak membakar Ibrahim, dengan kata lain kemarahan Namrud tidak mempengaruhi Ibrahim, karena baginya telah jelas hujah yang diperolehnya, yakni dalil berupa terbenamnya cahaya. Kalau saja cahaya itu adalah Tuhan pasti tidak akan terbenam. Dan Ibrahim menjadikan ini sebagai dalil."
Setelah penyangkal itu menyelesaikan ucapannya, salah seorang hadirin berkata, "Yang jelas, Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi mampu menampakkan karamah seperti ini (tidak terbakar api), karena dia memiliki maqam dan kedudukan. Kalau boleh aku memberitahumu, aku meyakini firman Allah yang menyatakan bahwa api itu tidak membakar Ibrahim secara makna lahir, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim (QS Al-Anbiya' [21]: 69). Aku tegaskan bahwa Ibrahim berada dalam maqam. Dan itu adalah mukjizatnya."
Sang penyangkal berkata, "Itu tidak mungkin terjadi." Lalu Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya, "Bukankah api ini membakar?" Jawabnya, "Ya." Syaikh Muhyiddin berkata lagi, "Lihatlah sendiri."
Kemudian ia melemparkan api dari tungku ke pangkuan sang penyangkal itu. Api itu masih melekat di atas pakaiannya, ia membolak-balik api itu dengan tangannya, tetapi tidak membakarnya, sehingga si panyangkal merasa heran. Lalu dikembalikannya api itu ke dalam tungku, kemudian Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya, "Dekatkan tanganmu ke dalam api itu!" Si penyangkal mendekatkan tangannya ke dalam api hingga tangannya masuk. Syaikh berkata padanya, "Demikianlah adanya, api diperintah untuk membakar sesuatu atau untuk tidak membakarnya. Allah Maha Berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya." Akhirnya si penyangkal itu masuk Islam dan mengakui mukjizat Nabi Ibrahim A.S.
Contoh orang yang tidak mengakui karamah muncul pada masa setelah Rasulullah SAW
Bukti-bukti kekuasaan Allah atas kebenaran Rasulullah SAW berfungsi untuk menunjukkan kebenaran syariat dan agama Islam, bukan semata-mata untuk menunjukkan Muhammad SAW sebagai wali Allah dengan hal-hal luar biasa yang dimilikinya. Inilah makna dari meninggalkan karamah bagi kelompok Al-Mulamatiyyah khususnya. Adapun menurut ulama-ulama besar, para sufi menampakkan karamah sebagai bagian dari gerakan jiwa, kecuali menurut batas yang telah kami sebutkan. Demikianlah pendapat Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a., seorang yang selalu berkata benar dan jujur.
Tidak diragukan lagi bahwa mukjizat Nabi SAW. dan bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran dan kesahihan agama serta kenabiannya, sebagian muncul karena permintaan orang-orang musyrik seperti terbelahnya rembulan, sebagian lagi muncul karena permintaan kaum muslimin seperti melimpahnya air dan makanan, dan sebagian lagi muncul bukan karena permintaan seseorang seperti berita-berita tentang kejadian-kejaidan gaib. Karena karamah para wali merupakan bagian dari mukjizat Nabi Saw., berarti mereka menampakkan karamah sebagai ganti dari Nabi SAW. Sebagimana yang dikatakan Sayyid Muhyiddin, "Para wali harus mengeluarkan berbagai macam karamah dengan cara sebagaimana mukjizat Nabi dimunculkan yakni sebagian karena permintaan orang-orang kafir, sebagian karena permohonan kaum muslimin, dan sebagian lagi tanpa diminta. Semua itu memiliki manfaat besar bagi yang menyaksikannya, baik bagi mereka yang melihat rahasia tersebut atau tidak. Tidak sedikit karamah yang menjadi sebab semakin kuatnya iman orang-orang yang menyaksikannya. Inilah manfaat besar yang dikehendaki menurut syara'. Karamah wajib disembunyikan ketika tidak ada hikmah dan faedah menampakkannya. Kita harus berprasangka baik bahwa para wali yang memperlihatkan karamah tidak bermaksud memamerkan kewaliannya, tetapi mereka pasti punya tujuan lain yang sesuai dengan syara', meskipun pengaruhnya tidak terlihat oleh kita seperti untuk memperkuat iman para hadirin yang menyaksikan- nya atau menampakkan kemulian dan kebenaran agama yang lurus ini."
Janganlah berburuk sangka kepada salah seorang wali bahwa ia menampilkan karamah untuk menetapkan kewalian dirinya dan menambah pengaruh dirinya atas orang lain. Para wali pasti tidak akan melakukan hal tersebut dan pasti menyadari bahwa mereka seharusnya menyembunyikan karamah. Bagaimana mungkin mereka memperlihatkannya, sehingga diharamkan keberkahannya. Tetapi yakinlah bahwa mereka tidak menampakkannya kecuali berdasarkan hukum yang benar dan niat yang lurus yakni untuk mencari ridha Allah dan mengabdi kepada agama-Nya yang lurus. Ketika itulah, para wali menempati maqam pemilik mukjizat, yaitu pemimpin para rasul, Muhammad SAW. Kebanyakan karamah yang dianugerahkan Allah kepada mereka muncul karena dipaksakan dan tanpa ikhtiar. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada kita dengan berkah mereka, dan semoga Allah tidak memberi kita kemampuan untuk menentang mereka, karena mereka adalah wali Allah. Allah Swt. berfirman dalam hadis qudsi, "Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Aku izinkan memeranginya." Maksudnya, Allah memberitahukan akan memerangi orang yang menyakiti wali-Nya dan menjadi musuhnya. Para ulama menyatakan bahwa peringatan keras ini hanya diberikan kepada mereka yang menyakiti para wali dan memakan riba. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan yang sempurna dalam agama, dunia, dan akhirat.
Imam Yafi'i menjelaskan dalam Raudh al-Rayyahin, "Manusia yang mengingkari karamah ada berbagai macam; ada yang mengingkari karamah para wali secara mutlak, ada yang mendustakan karamah para wali pada masanya tetapi mempercayai karamah para wali yang bukan masanya, seperti Ma'ruf, Sahi, Al-Junaid, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang oleh Abu Hasan al-Syadhily r.a., dikatakan, 'Demi Allah, tidak ada yang bertindak demikian selain kaum Bani Israil. Mereka percaya kepada Musa tetapi mendustakan Muhammad SAW. karena mereka semasa dengan Musa. Ada sebagian orang yang mempercayai bahwa wali-wali Allah memiliki karamah, tetapi tidak meyakini karamah satu orang wali pun yang hidup pada masanya.
Mereka ini terhalang mendapatkan berkah karamah, karena barang-siapa tidak mengakui karamah seorang wali, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari karamah wali lainnya. Hanya kepada Allahlah kita mohon pertolongan dan husnul khatimah (akhir yang baik)." Imam Yafi'i mengatakan bahwa ketika beberapa ulama besar ditanya tentang karamah wali, mereka menjawab, "Barangsiapa menyangkal karamah padahal ia tidak mengerti sedikit pun tentang karamah dan tidak mampu memikirkannya, maka hendaklah ia kembali pada pemikiran bahwa sesungguhnya Allah Maha berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Maha menetapkan apa yang Dia inginkan." Menurut Imam Yafi'i, sikap para penyangkal karamah ini sangat aneh, padahal karamah-karamah itu telah dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia, hadis-hadis sahih, atsar-atsar terkenal, hikayat-hikayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang melihat dan menyaksikan langsung, ulama salaf dan khalaf, dan begitu banyak jumlahnya yang tersebar di seluruh negeri, sampai tak terhitung banyaknya. Mayoritas penyangkal karamah, kalau mereka melihat langsung para wali dan orang-orang saleh terbang di udara, mereka akan menganggap itu sihir atau menuduh mereka setan. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengharamkan taufiq lalu mendustakan kebenaran karamah karena dianggap tidak masuk akal dan dengki, berarti ia mendustakan hal-hal yang tampak di depan mata dan yang tertangkap oleh fisik. Sebagaimana firman Allah, dan Dialah Yang Maha benar perkataan-Nya, "Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata, "Ini benar-benar sihir yang nyata." "(QS Al-An' am [6]: 7)

Perbedaan Karamah Dengan Peristiwa Luar Biasa Lainnya

Kami telah menjelaskan perbedaan antara mukjizat dengan kejadian luar biasa lainnya dalam pembukaan kitab Hujjatullah 'ala al-'Alamin. Dalam penjelasan itu, kami mengutip pendapat imam-imam yang berkompeten dalam hal ini seperti Al-Mawardi, Al-Sya'rani, Al-Qasthalani, Ibnu Hajar, dan lain-lain. Jadi, kami tidak perlu mencantumkannya lagi di sini, hanya perlu mengingatkan satu hal yang belum dijelaskan dalam kitab di atas, yang bersumber dari ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a. dalam bab 186 kitab Mawaqif al-Nujum tentang mengetahui maqam peristiwa luar biasa:
Peristiwa luar biasa terbagi menjadi beberapa macam.
Saya akan mengemukakan batasan-batasannya
Diantaranya, peristiwa luar biasa
yang muncul untuk menunjukkan kebenaran
Seperti mukjizat para Rasul
Yang lainnya ada beberapa macam
Tiada ilmu untuk bisa menjelaskannya
Semuanya termuat jelas dalam kitabullah
Cobalah kaji dalam tulisannya
Kabar gembira, sihir, tipu muslihat atau
tanda-tandanya Semua telah disebutkan dalam kitabullah
Semuanya diringkas dalam lima macam
Terkenal di kalangan orang-orang yang mampu melihatnya

Perlu diketahui, peristiwa luar biasa itu ada beberapa macam; di antaranya, peristiwa luar biasa yang muncul karena kekuatan diri, yaitu apabila orang alim berbuat dosa, lalu ia melakukan hal-hal luar biasa untuk memenuhi keinginannya itu. Demikian Allah mengabulkan kehendaknya. Terkadang berupa tipu muslihat yang sudah diketahui, seperti al-qalfitriyat dan hal-hal yang sudah dimaklumi ulama, terkadang berupa kemampuan mengatur huruf-huruf dengan astrologi, ini berlaku untuk ahli astronomi. Terkadang berupa penyebutan nama-nama, lalu muncul hal-hal luar biasa menurut pandangan mata orang yang melihatnya, yang berbeda dengan kebiasaan. Peristiwa tersebut muncul sesuai dengan kekuatan nama yang disebutkan. Semua ini terjadi di bawah kekuasaan makhluk atas izin Allah. Dan semua peristiwa luar biasa ini muncul melalui kekuatan ilahi, manusia tidak mempunyai andil dan kekuasaan, tetapi Allah-lah yang menampakkannya atau muncul atas perintah Allah dan petunjuknya.
Kejadian-kejadian luar biasa mempunyai tingkatan sebagai berikut; ada yang disebut mukjizat yang memiliki syarat dan sifat tertentu yang sudah diketahui. Ada yang disebut sebagai ayat, bukan mukjizat. Ada yang dinamakan karamah, muayyadah, munabbihat dan baitsah, jaza', makr, dan istidraj. Selain mukjizat, semua kejadian luar biasa ini tampak tanda-tandanya pada diri orang-orang yang menempuh jalan Allah meskipun mereka tidak mengetahuinya. Berbeda dengan mukjizat, karena para pemiliknya mengetahui apa yang ada dalam diri mereka. Apakah kejadian-kejadian luar biasa ini terjadi dengan campur tangan Allah atau tidak? Hanya mukjizat dan ayat yang pasti terjadi karena pertolongan Allah, oleh karena itu keduanya harus diyakini dan
diceritakan. Demikian juga dengan muayyadah, selain dua hal ini masih merupakan kemungkinan seperti yang telah kami jelaskan.
Kejadian luar biasa yang muncul dari para wali tidak akan terjadi pada orang yang mampu menampakkan kejadian luar biasa tetapi kemampuan itu digunakan untuk hal yang mubah, atau melakukan perbuatan yang dilarang karena godaan setan, atau meninggalkan suatu kewajiban syariat. Barangsiapa mempunyai hal luar biasa dalam dirinya, maka Allah akan memberinya kemampuan melakukan hal-hal luar biasa di dunia ini seperti kemampuan berbicara melalui kontak batin atau berjalan di udara, dan lain-lain. Ibnu 'Arabi telah menjelaskan karamah, tingkatan-tingkatan, dan hasil-hasilnya dalam kitab Mawaqi' al-Nujum. Kitab ini hanya menceritakan karamah-karamah saja bukan menjelaskan pengetahuan tentangnya. Mawaqi' al-Nujum adalah sebuah kitab dengan metode yang sahih, sangat bermanfaat, dan kecil bentuknya. Penulisnya menjelaskannya secara teratur karena keteraturan merupakan asal adanya alam. Dan kejadian luar biasa termasuk kejadian alam.
Allah membuat tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini, baik yang biasa maupun yang luar biasa. Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini yang bersifat biasa hanya bisa dipahami oleh ahlul fahmi (orang yang memahami Allah secara khusus) dan selain mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang kehendak Allah. Allah telah memenuhi Al-Qur'an dengan ayat-ayat yang menerangkan tanda-tanda kekuasaan Allah berupa kejadian-kejadian yang biasa, seperti perbedaan malam dan siang, turunnya hujan, keluarnya tumbuh-tumbuhan, berlayarnya kapal di laut, perbedaan bahasa dan warna, tidur di waktu malam dan kerja di waktu siang. Semua dijelaskan dalam Al-Qurxan sebagai tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal, mau mendengar, bisa memahami, beriman, mengerti, meyakini, dan mau berpikir. Di samping itu, tidak ada yang mau memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah kecuali Ahlullah, yaitu ahli Al-Qur'an secara khusus.
Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa adalah adanya kejadian-kejadian di luar kebiasaan manusia. Kejadian-kejadian tersebut memberi pengaruh kejiwaan atas manusia, seperti goncangan, gempa bumi dan gerhana, binatang berbicara, berjalan di atas air atau di udara, mengetahui peristiwa yang akan datang sebatas yang diketahui, berbicara melalui batin, sedikit makanan yang mengenyangkan banyak orang, hal ini dijadikan pelajaran oleh orang kebanyakan pada khususnya. Kalau suatu peristiwa yang luar biasa tidak membuat orang menjadi istiqamah, sadar, dan tidak mendorong untuk kembali kepada Allah dan tidak berpengaruh sedikit pun baginya, maka hal itu disebut makar dan istidraj karena dia tidak tahu bahwa itu adalah tipuan setan yang kuat yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang ingkar.
Kejadian-kejadian luar biasa mengandung rahasia yang mengagumkan bagi para ahli ma'rifat, dan kalau tidak berbahaya disiarkan kepada orang awam, kami pasti akan menjelaskannya. Kejadian luar biasa terjadi hanya satu kali, kalau terjadi dua kali maka disebut hal yang biasa. Pada hakikatnya, kejadian luar biasa selalu merupakan kejadian baru, kalau kemudian terulang maka tidak dinamakan kejadian luar biasa, paling ada kejadian yang serupa dengannya.
Dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah dan Mawaqi' al-Nujum, kitab yang banyak faedahnya, kecil bentuknya, ditulis dalam cetakan lama kira-kira 100 halaman, dan dikarang pada 595 M, Ibnu 'Arabi menyatakan, "Manusia tidak bisa mengetahui hakikat kejadian-kejadian luar biasa. Allah lebih berhak disembah tetapi kejadian-kejadian luar biasa telah menutup mata buta yang hanya mengutamakan hal-hal lahir kehidupan dunia yaitu wujud kehidupan kedua (al-mitslu al-tsani)daripada kehidupan akhirat. Mereka lalai dan terpedaya kehidupan dunia. Kemungkinan itu tidak terbatas, kekuasaan adalah jendelanya, dan kebenaran adalah pasti. Mana pengulangan itu? Tidak masuk akal kalau tidak ada pengulangan karena pengulangan
merupakan kejadian luar biasa."
Syaikh Muhammad bin 'Ibad al-Randa dalam syaraknya tentang hikmah yang dianugerahkan Allah, berkata, "Setiap orang yang merasa dirinya istimewa, tidak sempurna keikhlasannya." Keistimewaan yang dimaksud di sini adalah kemuliaan, pertolongan, perlindungan, kasih sayang, dan penjagaan yang dilimpahkan Allah kepada sebagian hamba-Nya. Di antara mereka ada yang terus menerus mendapatkan karunia-karunia di atas dari Allah hingga tampaklah kearifannya, sehingga mereka mempunyai keistimewaan dibandingkan orang lain dan alam ini. Mereka adalah orang-orang khawwash yang dekat dengan Allah, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu ma'rifatullah dan mencintai Allah. Di antara mereka ada yang diberi kemampuan mencapai puncak kesempurnaan dan Allah menjaga keadaannya dengan menganugerahinya ilmu dan perbuatan yang pantas baginya. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, golongan kanan,
ahli zuhud, ahli mujahadah, dan ahli zikir. Meskipun mereka sejajar dengan orang-orang yang pertama kali masuk surga karena mendapatkan kemurahan, kemuliaan, dan kemampuan dari Allah untuk melakukan tugas, ketaatan dan ibadah hanya kepada-Nya, mereka tidak memandang diri mereka istimewa, selalu menjaga langkah, bahkan menjaga sebab-sebab untuk mendapatkan karunia Allah tersebut, dan percaya akan adanya hijab.
Allah memberikan keistimewaan kepada mereka dengan menampakkan karamah di tangan mereka dan melalui perantaraan mereka, sebagai penenang jiwa dan penguat keyakinan dalam hati. Para sahabat Rasulullah yang termasuk golongan yang pertama masuk surga tidak mendapatkan karamah karena mereka tidak membutuhkannya dan karena kedalaman keyakinan, kekokohan dan keteguhan mereka. Sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Awarif al-Ma'arif bahwa orang yang tidak mampu menyingkap makna kejadian-kejadian luar biasa terkadang lebih utama daripada yang mampu menyingkapnya bila telah disingkapkan oleh Allah dengan ma'rifat. Kekuasaan adalah bukti adanya Zat Yang Maha Kuasa. Dan orang yang secara khusus mendekat kepada Yang Maha Kuasa tidak memandang aneh kejadian-kejadian luar biasa, ia melihatnya tampak nyata dari tabir alam hikmah. ' i <
Al-Syibli r.a. diberitahu tentang Abu Turab yang kelaparan di gurun pasir lalu ia melihat gurun pasir itu penuh berisi makanan. Al-Syibli kemudian berkomentar, "Abu Turab adalah hamba yang ditolong oleh Allah, kalau ia mencapai tempat kebenaran, maka dia akan seperti orang yang berkata, 'Aku menginap di sisi Allah, maka Dia akan memberiku makan dan minum.'"
Al-Syibli menjelaskan dalam kitab Lathaif al-Minan bahwa karamah dalam diri seorang wali terkadang tampak oleh dirinya sendiri dan terkadang tampak oleh orang lain. Jika seorang wali melihat adanya karamah dalam dirinya, berarti ia mengetahui kekuasaan dan keesaan Allah dan mengetahui bahwa kekuasaan-Nya itu tidak mengikuti sebab akibat. Allah-lah yang telah menetapkan adanya kejadian-kejadian yang biasa, bukan kejadian-kejadian biasa yang menetapkan adanya Allah. Allah-lah yang telah membuat kejadian-kejadian yang biasa, perantara-perantara, dan sebab-sebabnya untuk menutupi kekuasaan dan menyelubungi cahaya keesaan-Nya. Orang yang tidak mempercayainya adalah hina dan orang yang terbuka hatinya serta percaya bahwa Allah pelakunya, maka dia itu mulia.
Al-Syibli selanjutnya mengutip pendapat Syaikh Abu Hasan yang mengemukakan bahwa karamah berfaedah untuk memperkuat keyakinan kepada ilmu, kekuasaan, kehendak dan sifat-sifat azali Allah yang menyatu dan tidak berdiri sendiri, seakan-akan satu sifat vang menyatu dalam Zat Yang Maha Esa. Tidaklah sama antara orang yang mengenal Allah melalui mata hatinya dengan orang yang mengenal Allah melalui akalnya. Karamah adalah penguat keyakinan bagi orang yang dianugerahi karamah seperti yang dialami oleh para wali di awal laku spiritualnya dan tidak dialami para ulama yang telah sempurna laku spiritualnya karena sudah mempunyai keyakinan yang mendalam, sehingga mereka tidak membutuhkan karamah untuk memperkuat keyakinan mereka. Demikianlah keadaan para sahabat Rasulullah. Allah tidak perlu menampakkan karamah berupa fisik pada mereka karena Allah telah menganugerahi mereka pengetahun tentang hal-hal gaib, pengetahuan musyahadah, laksana gunung yang tak membutuhkan tiang. Karamah dimunculkan karena adanya keraguan terhadap karunia Allah dan untuk mengetahui karunia Allah pada orang yang mempunyainya. Karamah adalah bukti bahwa orang yang mempunyainya istiqamah dalam beribadah kepada Allah.
Sikap manusia terhadap karamah ada tiga macam:
Pertama, golongan yang menjadikan karamah sebagai puncak kekuatan. Apabila mereka menemukan orang yang mempunyai karamah mereka memuliakannya, dan apabila karamah lenyap dari diri seseorang, mereka tidak memuliakannya.
Kedua, golongan yang meragukan karamah dan menganggapnya sebagai tipuan yang dilakukan oleh para pencinta dunia untuk menjaga kedudukan mereka sehingga mereka tidak bisa mencapai kedudukan yang bukan haknya.
Abu Turab al-Nakhsyabi bertanya kepada Abu Abbas al-Riqi, "Apa pendapat teman-temanmu tentang karamah yang merupakan cara Allah memuliakan hambanya." Abu Abbas menjawab, "Saya tidak melihat satu pun dari mereka yang tidak mempercayainya." Kemudian Abu Turab berkata, "Barangsiapa tidak mempercayainya, maka dia telah kafir. Yang saya tanyakan adalah pendapat mereka tentang ahwal (keadaan ketika orang alim dekat dengan Allah)." Abu Abbas menjawab, "Saya tidak tahu pendapat mereka." Abu Turab berkata lagi, "Sesungguhnya teman-teman- mu berkeyakinan bahwa karamah adalah tipuan untuk memalingkan manusia dari kebenaran, padahal sebenarnya tidak begitu, karena tipuan bersifat menenangkan orang
yang memilikinya. Maka barangsiapa yang tidak gembira dan tidak merasa aman dengan adanya karamah, berarti ia telah mencapai tingkat rabbaniyyin." Cerita ini berasal dari Abu Turab r.a. ketika ada beberapa temannya yang kehausan, lalu ia memukulkan tangannya ke atas tanah dan tiba-tiba mengalirlah air dari tanah tersebut. Kemudian ia berkata, "Aku ingin minum dengan gelas," lalu ia memukulkan tangannya ke tanah tiba-tiba ia memegang gelas dari kaca putih, ia minum dan memberi minum kami semua. Abu Abbas berkata, "Gelas itu kami
bawa sampai ke Mekah."
Syaikh Abu Hasan berkata, "Kesimpulannya, kita tidak pantas meminta karamah dari Allah. Barangsiapa dikaruniai karamah, berarti Allah memuliakannya karena hal itu menjadi bukti bahwa dia istiqamah dalam beribadah kepada Allah."
Ketiga, tampaknya karamah dalam diri seorang wali di hadapan orang lain. Maksudnya adalah supaya orang yang menyaksikannya mengakui kebenaran jalan yang ditempuh wali yang dikaruniai karamah tersebut. Baik orang itu dulunya mengingkari karamah kemudian mengakuinya, atau dulu ia kafir lalu beriman, atau dia ragu akan keistimewaan seorang wali kemudian muncul karamah dalam diri wali tersebut supaya Allah menunjukan kebaikannya kepada orang lain.
Abu Nashr al-Siraj bertanya kepada Abu Hasan bin Salim, "Apa makna karamah, sampai-sampai orang yang memilikinya meninggalkan dunia sebagai ladang ikhtiar, bagaimana mungkin mereka mulia dengan merubah batu menjadi emas?" Abu Hasan menjawab, "Mereka dianugerahi karamah bukan karena mereka menguasainya, tetapi karena mereka membutuhkannya dalam keadaan terpaksa dan untuk menghilangkan kesedihan karena kurangnya rezeki yang telah dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga mereka mengatakan, 'Allah berkuasa mengubah batu menjadi emas, seperti yang terlihat. Dia berkuasa memberikan rezeki kepadamu dari arah yang tidak disangka-sangka.' Para wali memerlukan karamah untuk mendidik jiwa mereka karena tidak adanya rezeki. Karamah adalah bukti kuat bagi mereka dan sarana untuk melatih dan mendidik jiwa."
Dalam hal ini, Abu Nashr pernah mendengar Ibnu Salim bercerita tentang hikayat Sahi bin 'Abdullah r.a. yang mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki Basrah bernama Ishaq bin Ahmad yang tergolong memiliki banyak harta, tetapi ia kemudian meninggalkan hartanya. Ia bertobat dan bersahabat dengan Sahl. Pada suatu hari ia berkata kepada Sahi, "Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya jiwaku tidak bisa lepas
dari bisikan dan teriakan takut kehilangan makanan dan harta." Sahl menjawab, "Ambil batu lalu mintalah kepada Allah untuk mengubahnya menjadi makanan yang bisa kau makan." Ishaq berkata, "Siapa panutanku untuk melakukan hal itu?" Sahl menjawab, "Panutanmu adalah Nabi Ibrahim ketika ia berkata, 'Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.' Allah bertanya, 'Apakah kamu belum percaya?' Ibrahim menjawab, 'Aku telah percaya, tetapi agar hatiku bertambah kuat (Al-Baqarah [2]: 260)."
Artinya, jiwa hanya akan puas setelah melihat secara langsung karena ia diliputi keraguan, seolah-olah Ibrahim berkata, "Ya Tuhan, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati agar hatiku bertambah kuat. Aku sebenarnya sudah percaya kepada-Mu, tetapi jiwa tidak puas apabila tidak melihat langsung." Demikian juga para wali Allah dianugerahi karamah untuk mendidik dan memperhalus jiwa serta sebagai keutamaan tambahan bagi mereka. Demikianlah pendapat Abu Nasr.
Salah seorang ulama berpendapat bahwa karamah hanya dimiliki oleh orang-orang jujur yang bodoh. Pada suatu hari, seorang sahabat Sahl bin 'Abdullah r.a. berkata kepadanya, "Tatkala aku berwudhu untuk shalat, tiba-tiba air yang mengalir di tanganku berubah menjadi segenggam emas dan perak." Sahl kemudian berkata kepadanya, "Yang saya tahu, jika anak kecil menangis ia diberi mainan agar tenang."
Al-Junaid menceritakan bahwa Abu Hafshah al-Naisaburi dan 'Abdullah al-Ribati beserta jamaahnya pernah berkunjung kepadanya. Di antara mereka ada yang kepala bagian depannya botak dan sedikit bicara. Pada suatu hari, si kepala botak bertanya kepada Abu Hafsah, "Salah seorang jamaah yang kemarin ke sini memiliki tanda-tanda karamah yang nyata, tetapi aku tidak melihat sesuatu pun pada dirimu." Abu Hafshah r.a. menjawab, "Kemarilah," kemudian ia membawanya ke pasar pandai besi. Abu Hafshah menuju tungku besar dan memasukan besi besar ke dalam tungku kemudian memasukan tangannya ke tungku tersebut dan mengambil besi yang terbakar itu lalu mengeluarkannya hingga menjadi dingin di tangannya. Kemudian ia berkata kepada orang itu, "Inikah yang kau inginkan?" Beberapa orang di antara mereka menanyakan tujuan menampakkan karamah, ia menjawab, "Hal itu menunjukkan bahwa orang yang memilikinya adalah orang yang mulia dan ia takut kalau tidak menunjukkannya, keadaannya akan berubah. Maka ia menunjukkannya untuk memperoleh simpati, menjaga keadaannya, dan menambah imannya. Akan tetapi
para ahli ma'rifat dan para ahli hakikat menghindar dan takut untuk menunjukan karamah mereka."
Salah seorang ulama salaf berkata, "Tipu daya yang paling tidak kentara bagi para wali adalah karamah dan ma'nah" Diceritakan bahwa ketika Abu Hafs duduk dengan teman-temannya, ada seekor kijang turun dari gunung dan ia meminta berkah kepada mereka. Abu Hafs lalu menangis, kemudian ia ditanya kenapa menangis. Abu Hafs menjawab, "Ketika kalian duduk di sampingku tiba-tiba terbesit dalam hatiku apabila aku mempunyai kambing, maka akan aku sembelih untuk kalian. Maka ketika kijang ini meminta berkah kepada kita aku merasa diriku seperti Fir'aun ketika meminta kepada Allah untuk mengizinkannya berlayar di Sungai Nil lalu Allah mengizinkannya. Lalu aku menangis dan bertanya kepada Allah tentang apa yang diminta dan diharapkan kijang tersebut."
Diceritakan bahwa salah seorang Abdal berkata kepada salah satu murid Syaikh Abu Madyan r.a., "Apa yang terjadi pada kita sehingga kita sulit melakukan sesuatu, sedangkan Abu Madyan mudah sekali melakukannya, padahal kita ingin mencapai kedudukan seperti kedudukannya sedangkan ia tidak menginginkan kedudukan kita?" Pembicaraan tersebut terdengar oleh Syaikh Abu Madyan, lalu ia berkata, "Katakan padanya bahwa kami akan meninggalkan tujuan kami untuk tujuannya."
Diceritakan bahwa suatu kali Syekh Abu Madyan berjalan di gurun pasir sampai ke sebuah sumur yang airnya meluap hingga bibir sumur, lalu ia berkata, "Aku tahu Engkau mampu melakukan ini sedangkan aku tidak mampu melakukannya. Seandainya Engkau mendatangkan seorang badui kepadaku, niscaya ia akan menamparku dan memberiku minum, sungguh hal itu lebih aku sukai dan aku tahu bahwa bantuan orang badui itu bukan dari dirinya sendiri."
Yahya bin Mu'adz al-Razi r.a. berkata, "Apabila kamu melihat orang menunjukkan tanda-tanda karamah, berarti jalan spiritualnya adalah jalan kaum Abdal. Jika kamu melihat orang menunjukkan karamah dan menyenandungkan pujian kepada Allah, berarti ia menempuh jalan cinta. Jalan kedua ini lebih utama daripada jalan pertama. Dan apabila kamu melihat orang yang berzikir dan hatinya bergantung kepada yang ia zikirkan, berarti ia menempuh jalan ahli ma'rifat {'arifin). Inilah jalan yang paling tinggi derajatnya."
Abu Yazid r.a. berkata, "Pada permulaan olah spiritualku, Allah Swt. memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dan karamah, tetapi
aku tidak mempedulikannya. Kemudian tatkala Allah memperlihatkan lagi kepadaku, tahulah aku bahwa Allah menjadikan hal tersebut sebagai jalan untuk mengenal-Nya." Selesailah penjelasan dalam Syarh Ibn 'Ibad atas kitab Al-Hikam.«

Macam-macam-karamah

Al-Tajj al-Subki menjelaskan macam-macam karamah dalam kitab Al-Tabaqah al-Kubra sebagai berikut:
1. Menghidupkan yang sudah mati
Kisah Abu 'Ubaid al-Bisri dalam sebuah peperangan ketika memohon kepada Allah untuk menghidupkan kembali binatang yang dikendarainya, maka hiduplah binatang yang sudah mati itu. Kisah Mifraj al-Dimamini ketika berkata kepada ayam yang dipanggang, "Terbanglah!" Tiba-tiba ayam itu terbang. Kisah Syaikh al-Ahdai ketika memanggil seekor kucing yang sudah mati, lalu kucing itu mendatanginya. Hikayat Syaikh 'Abdul Qadir ketika berbicara dengan ayam setelah ia menyantap dagingnya, "Bangunlah dengan izin Allah, Zat Yang Menghidupkan tulang-tulang yang remuk," tiba-tiba ayam itu bangkit kembali. Kisah Syaikh Abu Yusuf al-Dahmani ketika mendatangi sesosok mayat, ia berkata, "Bangkitlah! Dengan izin Allah," lalu mayat itu berdiri dan hidup kembali dalam waktu yang cukup lama. Kisah Syaikh Zainuddin al-Faruqi al-Syafi'i, guru besar Syam, yang diriwayatkan oleh Al-Subki bahwa di rumah Syaikh Zainuddin, ada anak kecil yang jatuh dari atap lalu meninggal. Syaikh Zainuddin kemudian berdoa kepada Allah, hingga akhirnya anak tersebut hidup kembali. (Riwayat Syaikh Fathuddin Yahya, putra Syaikh Zainuddin) Al-Subki selanjutnya berkata, "Tidak ada cara untuk menghitung cerita-cerita seperti ini karena banyaknya. Tetapi saya atau mungkin juga orang lain belum yakin bahwa seorang wali bisa menghidupkan orang yang sudah lama mati dan telah menjadi tulang belulang
kemudian mayat itu hidup untuk waktu lama. Hal ini belum pernah kami temui dan saya tidak percaya hal itu bisa dilakukan oleh seorang wali, tetapi tidak diragukan bahwa kejadian semacam itu pernah dilakukan oleh nabi-nabi Hal ini bisa terjadi melalui mukjizat bukan dengan karamah. Seorang nabi sebelum tertutupnya pintu kenabian bisa menghidupkan umat yang telah hancur beberapa abad, kemudian mereka hidup kembali untuk waktu lama. Saya tidak percaya bahwa wali bisa menghidupkan Imam Syafi'i atau Imam Abu Hanifah lalu keduanya hidup dalam waktu lama sebelum wali tersebut wafat atau bahkan hanya untuk waktu singkat dan mereka bisa bergaul dengan orang yang hidup sebagaimana mereka bergaul sebelum wafat.'
2. Dapat berbicara dengan orang mati
Karamah ini lebih banyak terjadi dibandingkan karamah sebelumnya. Misalnya kisah tentang Abu Sa'id al-Kharazi r.a., Syaikh 'Abdul Qadir r.a., dan golongan wali setelah mereka yakni beberapa guru Syaikh Imam al-Walid, ayahanda dari Imam Taqiyuddin al-Subki.
3. Membelah dan mengeringkan laut, serta berjalan di atas air Karamah ini sering terjadi. Syaikhul Islam dan pemimpin kaum
mutaakhirin, Taqiyuddin bin Daqiqil 'Id juga telah mengalami hal ini
4. Merubah benda-benda
Diceritakan bahwa Syaikh 'Isa al-Hatar al-Yamani pernah didatangi utusan seseorang yang mengolok-oloknya dengan membawa dua bejana penuh arak. Kemudian Syeikh 'Isa menuangkan arak dari salah satu bejana ke wadah lainnya dan Syaikh berkata kepada murid-muridnya, "Dengan menyebut nama Allah, makanlah!" Mereka lalu memakannya dan tiba-tiba arak itu berubah menjadi mentega dan tidak terlihat sedikit pun warna maupun aroma arak. Banyak orang menceritakan kisah semacam ini.
5. Melipat jarak bumi
Diceritakan bahwa beberapa wali berkumpul di Masjid Tharsus, mereka ingin sekali mengunjungi Masjidil Haram. Mereka kemudian memasukkan kepala ke dalam saku masing-masing. Ketika kepala mereka dikeluarkan, mereka sudah sampai di Masjidil Haram. Hikayat-hikayat semacam ini sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, tidak ada yang mengingkarinya, kecuali para pendusta.
6. Berbicara dengan benda mati dan binatang
Tidak diragukan hal ini sering terjadi Diceritakan bahwa Ibrahim bin Adham memanggil sebatang pohon delima ketika ingin sekali me
makannya. Beliau memakannya, mulanya buahnya kecil, tetapi kemudian memanjang, dan yang mulanya asam, menjadi manis. Peristiwa ini terjadi dua kali dalam setahun.
7. Menyembuhkan berbagai macam penyakit
Al-Sari menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan seorang laki-laki di sebuah gunung yang dapat menyembuhkan cacat sebagian anggota badan, buta, dan penyakit lain. Diceritakan pula kisah Syaikh 'Abdul Qadir ketika berkata kepada seorang bocah yang lumpuh, buta, dan sakit lepra, "Bangunlah dengan izin Allah." Akhirnya bocah tersebut bangun tanpa kesulitan.
8. Menundukkan binatang
Seperti hikayat Abu Sa'id bin Abu Khair al-Mihani yang menundukkan singa dan hikayat Ibrahim al-Khawwash. Juga kemampuan menundukkan benda mati seperti hikayat Syaikhul Islam 'Izzuddin bin 'Abdussalam yang menundukkan angin dalam peristiwa al-Faranji, "Angin, bawalah mereka!"
9. Melipat waktu
10. Membentangkan waktu
Dua macam karamah di atas sulit dipahami, dan lebih baik kita menyerahkan pemahamannya kepada para ulama. Hikayat-hikayat tentang keduanya cukup banyak.
11. Terkabulnya doa
Karamah macam ini sering terjadi dan kita juga sering menyaksikannya.
12. Mengendalikan lisan ketika berkata dan fasih bicaranya.
13. Memikat hati dalam majelis hingga mempengaruhi akhir keputusan yang diambil
14. Memberitahukan dan menyingkap hal-hal gaib. Karamah ini merupakan tingkatan yang melampaui batas pengetahuan kita
15. Sabar atas ketiadaan makanan dan minuman dalam waktu yang cukup lama
16. Mengendalikan perubahan musim
Banyak orang menceritakan bahwa ada wali yang selalu diikuti hujan, diantaranya Syaikh 'Abdul'Abbas al-Syathir (dari kelompok ulama mutaakhirin) yang pernah menjual hujan dengan harga beberapa dirham. Banyak hikayat tentang karamah semacam ini, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.
17. Mampu memperoleh banyak makanan
18. Terjaga dari memakan makanan haram
Diceritakan bahwa Al-Harits al-Muhasibi mampu mencium aroma panas makanan yang haram sehingga ia tidak jadi memakannya. Ada yang mengatakan tubuhnya bergerak-gerak jika menemukan makanan haram. Syaikh Abu 'Abbas al-Mursi juga mempunyai kemampuan serupa.
19. Melihat tempat yang jauh dari belakang h ijab
Sebagaimana diceritakan bahwa Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi mampu melihat Ka'bah, padahal ia sedang berada di Baghdad.
20. Ditakuti
Orang yang menyaksikannya secara langsung bisa meninggal seperti sahabat Abu Yazid al-Busthami, atau menjadi tidak berkutik di hadapannya, atau mengaku bahwa ia menyembunyikan sesuatu darinya, dan lain-lain.
21. Allah mencegah kejahatan yang akan menimpa seorang wali dan mengubahnya menjadi kebaikan, seperti yang terjadi antara Imam Syafi'i dan Khalifah Harun al-Rasyid.
22. Menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda
Dalam istilah sufi disebut alam mitsal (dunia penyerupaan). Mereka menetapkannya sebagai dunia pertengahan antara dunia fisik dan dunia metafisik sehingga disebut alam mitsal, yakni dunia yang lebih lembut daripada dunia fisik dan lebih kasar daripada dunia metafisik. Ruh bisa mengambil bentuk dan menampakkan diri dalam bentuk yang bermacam-macam di alam mitsal lalu menyerupai manusia, berdasarkan firman Allah, Maka ia (malaikat) menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna (QS Maryam [19]: 17). Diceritakan bahwa Qadhib al-Ban al-Musili, salah seorang Abdal, dituduh meninggalkan shalat oleh seseorang yang belum pernah melihatnya. Ia tiba-tiba mengubah dirinya menjadi beberapa bentuk lalu bertanya, "Dalam bentuk mana engkau melihatku tidak melakukan shalat?"
Banyak kisah mengenai karamah semacam ini. Salah satu kisah yang disepakati oleh para ulama Mutaakhirin adalah kisah tentang seorang sufi besar di Kairo yang berwudhu tidak secara berurutan di madrasah Suyufiyyah. Kemudian ada orang menegurnya, "Wahai Syaikh, wudhumu tidak berurutan." Syaikh itu lalu menjawab, "Saya selalu berwudhu dengan urut, kamu yang salah lihat." Ia lalu mengambil tangan orang itu dan memperlihatkan Ka'bah kepadanya.
Orang itu kemudian melewati Mekah dan melihat Syaikh itu ada di Mekah, dan ia tinggal di sana beberapa tahun.
23. Allah memperlihatkan isi bumi kepada mereka Sebagaimana dalam hikayat Abu Turab, ketika kakinya menjejak
bumi, tiba-tiba air memancar. Ibn al-Subki mengatakan, "Karamah ini terjadi sebagai berikut: Allah menciptakan air tidak pada tempatnya, sementara bumi patuh pada kaki yang menginjaknya." Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang dilanda kehausan di tengah perjalanan menunaikan ibadah haji, ia tidak menemukan seorang pun yang memiliki air. Ia hanya menemukan seorang sufi sedang menyandarkan tongkat di suatu tempat, sementara air memancar dari bawah tongkat itu. Selanjutnya ia memenuhi bejana miliknya dengan air itu, kemudian ia menunjukkan sumber air itu kepada jamaah haji rombongannya, akhirnya mereka memenuhi bejana yang mereka bawa dengan air tersebut.
24. Kemudahan para ulama untuk menyusun karya dalam waktu relatif singkat. Mereka mampu menyusun banyak kitab di tengah kesibukan dalam bidang keilmuan sampai mereka wafat, padahal untuk menuliskan kitab-kitab itu pun waktu yang ada tidak mencukupi apalagi untuk mengarangnya. Hal ini termasuk karamah memanjangkan waktu seperti telah kami sebutkan di muka. Para ulama sepakat bahwa umur Imam Syafi'i r.a. tidak cukup untuk menyusun sepuluh kitabnya, padahal ia setiap hari menghatamkan Al-Qur'an sambil merenungkannya. Dan setiap bulan Ramadhan ia khatam dua kali sehari padahal ia sibuk mengajar, memberi fatwa, berpikir dan berzikir serta terkadang tertimpa sakit karena ia terkena satu atau dua penyakit atau lebih, dan mungkin ia terkena tiga puluh macam penyakit. Demikian juga yang terjadi pada Imam Haramain Abu Ma'ali al-Juwani r.a., bila umur, karya-karya yang dihasilkannya, pertemuan-pertemuannya untuk pengajaran, dan waktu zikirnya di majelis zikir yang tidak pernah terlewatkan dibandingkan, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan semua itu.
Banyak wali yang mampu menghatamkan Al-QurKan 8 kali setiap harinya. Imam Al-Rabani Syaikh Muhyiddin al-Nawawi r.a. telah mengisi hidupnya untuk menyusun berbagai kitab, padahal usia hidupnya tidak cukup untuk menuliskan kitab-kitab itu apalagi untuk mengarangnya, ditambah lagi waktu untuk melakukan berbagai ibadah dan aktivitas lainnya. Demikian juga Syaikh Imam al-Walid, ayahanda
dari Syaikhul Islam Imam Taqiyuddin al-Subki r.a. Jika waktunya untuk menyusun berbagai kitab, ditambah dengan kegiatan ibadahnya, aktivitas-aktivitas lain yang bermanfaat, mengajarkan ilmu, menuliskan fatwa, membaca Al-Qursan, dan kesibukannya dalam urusan hukum dihitung, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan sepertiga dari aktivitas-aktivitasnya itu. Semua itu terjadi berkat Allah yang Maha Suci yang telah memberikan berkah dan rahmat kepada para wali.
25. Menghilangkan pengaruh racun dan hal yang membahayakan.
Diceritakan bahwa pada sua tu hari seorang syaikh ditantang oleh seorang raja untuk menunjukkan karamahnya, "Kalau Engkau tidak bisa menunjukkan hal yang luar biasa kepadaku, maka aku akan membunuh murid-muridmu ini?" Saat itu, di dekat syaikh ada kotoran unta, lalu syaikh berkata, "Lihatlah!" Tiba-tiba kotoran itu berubah menjadi emas. Di sisi syaikh ada sebuah gayung tanpa air. Lalu ia mengambil gayung itu dan melemparkannya ke udara. Sewaktu ia mengambilnya kembali, gayung itu sudah penuh air, padahal posisi gayung itu terbalik tetapi tidak ada setetes air pun yang tumpah. Sang raja berkomentar, "Ini sihir!" Selanjutnya raja menyalakan api besar, lalu memerintahkan murid-murid syaikh itu memasukinya. Selesai mengelilingi api, masuklah syaikh dan beberapa muridnya ke dalam api. Kemudian syaikh keluar lagi dari api itu dan menyambar putra kecil sang raja. Ia masuk kembali ke dalam api dan menghilang selama satu jam sampai raja menduga anaknya ikut terbakar. Kemudian Syaikh dan anak raja itu keluar sambil memegang apel dan delima. Sang ayah bertanya, "Dari mana saja kamu?" Jawabnya, "Dari taman." Berkomentarlah para punggawa raja, "Ini dibuat-buat, tidak nyata." Sang raja berkata kepada Syaikh itu, "Kalau kamu bisa selamat minum segelas racun ini, maka aku akan mempercayaimu." Syaikh itu meminumnya, maka terkoyak-koyaklah pakaiannya. Hadirin lalu memberinya pakaian yang lain, maka terkoyak-koyaklah kainnya. Demikian hal tersebut dilakukan berulang-ulang hingga hancurlah pakaian syaikh tersebut hingga kelihatan ototnya. Tetapi racun yang mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa.
Selanjutnya Al-Subki menjelaskan, "Menurut perkiraan saya, karamah para wali lebih dari seratus macam. Macam-macam karamah yang telah saya kemukakan di atas merupakan bukti bagi orang yang meremehkan dan mengabaikannya. Semua karamah di atas telah banyak diriwayatkan dan diceritakan dan telah tersebar pula khabar-khabar dan riwayat-riwayat tentangnya. Jadi, selain kebenaran adalah
kesesatan, dan kalau bukan berupa penjelasan tentang hidayah berarti sia-sia. Orang yang setuju tidak menyerah begitu saja, tetapi selalu meminta kepada Tuhannya untuk menghubungkannya dengan orang-orang yang saleh. Mereka senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Kalau saya mencoba membatasi apa yang terjadi pada para wali, berarti saya telah mempersempit jiwa kita dan menghabiskan banyak kertas.' Imam' Abdur Rauf al-Munawi menuturkan dalam pendahuluan kitab Thabaqah al-Shugra tentang macam-macam karamah dengan gaya bahasa yang berbeda. Meskipun pendapatnya tidak berbeda dengan pendapat Muhyiddin Ibnu 'Arabi dalam kitab Mawaqi' al-Nujum, akan tetapi Al-Munawi memberikan ringkasan, mengemukakan pendapat-nya sendiri, dan menolak pendapat yang sudah ada.
Al-Munawi berkata, "Perlu diketahui bahwa tujuan Allah menampakkan karamah adalah untuk menunjukkan keajaiban-keajaiban-Nya dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada wali tersebut yang akan menambah kecintaan wali kepada maqamnya dan memperkuat tujuannya. Sebagaimana firman Allah, Agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (QS Al-Isra' [17]: 1). Maksudnya adalah, apabila seorang wali telah menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memberikan karamah kepadanya seperti kemampuan untuk mengetahui orang yang akan datang dari jarak jauh atau melalui hijab yang tebal, melihat Ka'bah dari tempat yang jauh, menyaksikan alam gaib, dan hal-hal luar biasa lainnya seperti yang dialami Nabi, sebagai penghormatan bagi orang yang mengikuti dan mencintainya. Ia juga bisa menyaksikan alam malakut seperti malaikat, alam jabarut seperti jin, dan alam ruh seperti Abdal dan Autad. Para malaikat adalah makhluk yang difirmankan Allah sebagai, Mereka bertasbih malam dan siang tiada hentinya (QS Al-Anbiya' [21]: 20). Apa anggapanmu terhadap orang yang menjadi teman para malaikat yang tidak pernah lalai. Ia pasti orang yang selalu berzikir dan merenungi kekurangan dirinya dengan menjalankan berbagai ketaatan untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dan menyaksikan {musyahadah) Yang Maha Agung dan Mulia, dan teman yang menyelamatkan dari kejahatan. Adapun alam ruhani bisa disaksikan oleh setiap orang yang mempunyai sifat seperti malaikat yang teguh dan sungguh-sungguh menaati perintah Allah serta mempunyai sifat-sifat yang sempurna seperti Nabi Khidir a.s. dan lain-lain. Tidakkah kau lihat Ibrahim al-Khawwas ketika bertemu dengan Khidir, ia menjadikan pertemuan itu sebagai bentuk penghormatan.
Lalu ia bertanya kepada Khidir, 'Bagaimana aku bisa melihat engkau?' Khidir menjawab, Itu karena kebaikanmu terhadap ibumu.'"
Masih menurut Al-Munawi, pertemuan dengan makhluk-makhluk Allah yang mulia harus kita yakini sebagai perhatian Allah kepada kita, karena Allah-lah yang telah mempertemukan kita dengan makhluk-Nya yang taat dan khawwash, yaitu makhluk yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya. Tidak akan sengsara orang yang menjadi teman mereka karena mereka adalah orang-orang yang telah terlepas dari unsur-unsur tanah dan keluar dari kejelekan-kejelekan sifat manusia. Cahaya perlindungan Allah telah mematangkan sifat-sifat ketanahan mereka yang baik, terberkati, lurus, dan bercampur dengan sifat-sifat yang lembut, lalu mengeluarkan mereka dari asal mula mereka untuk mencapai alam yang tinggi. Sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasan mereka menjadi luar biasa. Apabila manusia memiliki sifat-sifat malaikat, maka ia akan keluar dari kebiasaan manusia dan muncul darinya keajaiban seperti yang dimiliki malaikat hasil dari musyahadatnya. Kebanyakan manusia seperti itu tidak bisa dilihat oleh mata sebab terhalang oleh sesuatu, bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat, mampu berjalan di atas air, terbang di udara, tidak terlihat, dan mampu berubah bentuk seperti alam ruhani, seperti Khidir a.s. yang bisa menjelma menjadi bentuk yang ia inginkan.
Al-Munawi menjelaskan lagi, "Ketahuilah bahwa manusia bisa berpindah dari menyaksikan alam malakut yang ada di luar dirinya untuk melihat keadaan alam khusus tersebut. Melihat di sini artinya terbuka mata batinnya sehingga tersingkaplah baginya rahasia hakikat dan tampaklah cahaya yang suci, yakni tersingkapnya selubung hati sehingga maksud-maksud ilahiah dan rahasia-rahasia hakikat menjadi jelas. Hal itu menjelma dalam cermin imajinasi penglihatan sehingga mata batin bisa melihatnya yang pada akhirnya tampak kepadanya hal-hal gaib dan apa yang tersembunyi dalam hati. Apabila hijab (penghalang) mata hati telah tersingkap dan tutupnya telah terbuka, maka orang akan mampu mengetahui getaran-getaran hati yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, apabila seorang wali mau, niscaya ia bisa menunjukkan kemampuannya itu dan apabila tidak dia akan menutupinya sesuai kondisi, waktu, dan kemaslahatan. Berdasarkan hal ini, ada sebagian wali yang mampu menyingkap hal-hal gaib, dan sebagian lain mampu menandai sifat-sifat orang lain dalam cermin hatinya karena kesuciannya. Hal itu berlaku bagi orang yang melepaskan keinginan-keinginan duniawi. Dan apabila ia menemukan keinginan yang tidak sesuai dengan maqamnya, maka ia tahu bahwa itu adalah keinginan orang-orang yang ada di hadapannya. Sebagian wali tidak mengetahui itu keinginan siapa, maka ia berbicara tentang ciri-ciri orang yang sesuai dengan keinginan tersebut. Dan sebagian lagi mengetahui siapa yang menginginkannya, sehingga langsung menyatakannya kepada orang yang dimaksud. Pangkal pengetahuannya adalah bahwa pada dasarnya antar hati itu ada hubungan. Apabila terlintas dalam hati syaikh atau murid sesuatu yang jelek maka muncullah asap yang membentuk awan gelap dalam hati Syaikh. Apabila syaikh sedang berhadapan dengan orang yang mempunyai keinginan jelek, maka asapnya semakin tebal, dan apabila ia memalingkan wajah darinya maka asap itu menghilang. Apabila terlintas sesuatu yang baik maka asap itu menjadi asap yang lembut dan berbau harum di hidungnya. Keadaan itu terjadi apabila orang yang menginginkannya ada di hadapannya. Apabila tidak ada, maka seperti ahli ma'rifa t yang berdiam diri di sebuah masjid dan pada saat yang sama keluarganya atau orang lain menginginkan makanan tertentu. Tiba-tiba makanan itu ada di hadapannya, padahal ia tidak menginginkannya. Tahulah ia bahwa ia tidak menginginkan makanan itu untuk dirinya, maka ia memberikan dan mengirimkannya kepada orang yang menginginkannya."
Termasuk kategori mukasyafah yang halus adalah terbersitnya suatu keinginan dalam hati seorang wali, lalu di bajunya muncullah tanda bahwa keinginannya itu diperintahkan atau dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang dialami Abu Madyan r.a. ketika ingin menceraikan istrinya, Abu ' Abbas al-Khasyab melihat tulisan di baju Syaikh Abu Madyan, "Pertahankan istrimu!" Dan seperti yang dialami Ibnu 'Arabi r.a. ketika sibuk menyusun sebuah kitab, ada yang berkata kepadanya, "Tulislah bab yang sulit dipahami ini." Setelah itu, ia tidak tahu apa yang akan dituliskannya dan bingung sesaat. Seteleh kebingungannya hilang, ia melihat papan bertangkai yang bercahaya di hadapannya, di atasnya terdapat tulisan hijau bercahaya, kemudian papan itu hilang.

Beberapa mukasyafah yang dialami wali

  • Ada wali yang mampu menyingkap alam gaib, hingga dinding dan kegelapan tidak menghalanginya untuk melihat apa yang dilakukan orang-orang di dalam rumah mereka.
  • Ada wali yang ketika berjumpa dengan seorang pezina, pemabuk, pencuri, pencela, atau orang yang suka berbuat zalim, ia melihat
    goresan tanda hitam pada anggota tubuh mereka yang melakukan maksiat 'Ali Abi Ya'zi, guru Ibnu 'Arabi, termasuk wali yang menempati maqam ini. Mukasyafah ini khusus bagi orang yang bersifat wara' (orang yang benar-benar menjauhi maksiat dan syubhat).
  • Ada wali yang jika ada orang yang ribut atau diam di majelisnya, ia mengetahui derajat dan apa yang akan terjadi dengan orang itu, kenyataannya sesuai dengan apa yang dikatakan wali itu, dan ia selamanya tidak akan salah. Diceritakan bahwa ada seorang laki-laki ribut di majelis Abu Madyan, lalu orang itu disuruh keluar. Abu Madyan berkata, "Kamu akan melihat keadaanya setahun kemudian." Sebagian orang yang hadir meminta penjelasan, lalu Abu Madyan berkata, "Ia akan menganggap dirinya Imam Mahdi." Dua puluh tahun kemudian, apa yang dikatakan Abu Madyan terjadi. Kemampuan ini berasal dari ilmu ladunni.
  • Ada wali yang tatkala bangun tidur, di hadapannya sudah tersedia minuman dari madu, susu, dan air, lalu ia meminumnya.
  • Ada wali yang mampu mengetahui alam ruhani yang berbeda dengan alam fisik, tetapi ia tidak menggelutinya.
  • Ada wali yang mampu mengetahui rahasia batu-batu mineral, dan semacamnya. Ia mengetahui khasiat, rahasia, dan bahaya dari batu-batu itu.
  • Ada wali yang dianugerahi maqam bisa memahami Allah dan mendengar tanda-tanda kekuasaan-Nya, sehingga ia bisa mendengar ucapan benda-benda mati. Apakah kemampuan itu termasuk hal yang biasa atau luar biasa tergantung pada tingkatan pemahaman terhadap ucapan benda mati. Yang termasuk hal luar biasa ada 2 macam. Pertama, merujuk pada orang yang mendengarnya, yakni kemampuan memahami hakikat ucapan benda mati. Kedua, merujuk pada ucapan benda-mati itu sendiri melalui karamah, misalnya bertasbihnya kerikil di telapak tangan sebagian sahabat. Apabila seorang hamba memperoleh maqam ini, maka ia akan mendengar semua benda mati bertasbih dengan bahasa yang jelas seperti bahasa manusia.
  • Ada wali yang dianugerahi kemampuan menyingkap dunia tumbuh-tumbuhan. Semua tumbuhan dan rumput memberitahukan kepada wali itu sari-sari yang dikandungnya baik yang berbahaya atau yang berkhasiat. Tumbuh-tumbuhan itu berkata, "Hai hamba Allah, khasiatku begini dan bahayaku begini."
  • Ada wali yang dikaruniai kemampuan bergaul dengan binatang. Binatang-binatang mengucapkan salam kepadanya dengan bahasa
    yang jelas dan memberitahunya tentang khasiat-khasiat yang dikandungnya.
  • Ada wali yang diberi kemampuan menyibak perjalanan hidup orang yang masih hidup, rahasia-rahasia yang diberikan kepada orang itu sesuai dengan keadaannya, dan bagaimana perkembangan ibadahnya dalam perjalanan hidupnya itu.
  • Ada wali yang diberi kemampuan melihat hal-hal yang tidak mungkin melalui jentera dan merubah yang kasar menjadi lembut dan sebaliknya.
  • Ada wali yang diberi kemampuan meramalkan hal-hal jelek yang akan terjadi, lalu ia meminta dihindarkan sehingga ia tidak terkena hal buruk itu.
  • Ada wali yang diberi kemampuan ilmu astrologi dan cara-cara yang sistematis dan menyeluruh.
  • Ada wali yang dianugerahi kemampuan mencapai ilmu-ilmu ilahiyah dan diberitahu cara-cara untuk mencapainya seperti persiapan yang harus dilakukan, etika dalam mencari dan mengamalkan ilmu, memegang dan menyebarluaskannya, serta cara menjaga hati dari hal-hal yang merusak. Semua cara itu adalah satu kesatuan dan tersembunyi
  • Ada wali yang dikaruniai kemampuan mengetahui tingkatan ilmu-ilmu teoritis, ide-ide yang cemerlang, dan bentuk-bentuk kesalahan pemahamannya, kemampuan membedakan antara prasangka dan ilmu, berbagai hal yang terjadi di antara alam arwah dan alam fisik, sebab terjadinya, dan berjalannya rahasia ilahi di alam ini serta sebabnya.
  • Ada wali yang mampu menangkap alam tashwir, alam taksin, alam benda-benda mati, bentuk-bentuk suci dan jiwa tumbuhan yang mestinya diketahui akal dalam bentuk dan susunan yang baik, rahasia-rahasia kelemahan, kelembutan dan rahmat orang-orang yang disifatinya.
  • Ada wali yang mampu menguak tingkatan kutub bumi.
  • Ada wali yang mampu menguak benda-benda yang memantulkan cahaya, benda-benda yang langgeng, benda-benda yang abadi, rahasia alam, dan kemampuan untuk menjaga dan menyampaikan amanat kepada orang yang berhak.
  • Ada wali yang dianugerahi pengetahuan tentang simbol-simbol, penghitungan, dan firasat
  • Ada wali yang disingkapkan baginya dunia lain, mampu menyingkap kebenaran dan pendapat-pendapat yang benar, mazhab-mazhab yang lurus, dan syariat-syariat yang telah diturunkan.
  • Ada wali yang terlihat sebagai orang alim, Allah telah menghiasi mereka dengan pengetahuan-pengetahuan suci sebagai sebaik-baik perhiasan.
  • Ada wali yang dianugerahi kewibawaan, ketenangan, teguh pendirian, dan kemampuan mengetahui tipu muslihat dan rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan sejenisnya.
  • Ada wali yang mampu berbicara, tetapi tidak terlihat siapa yang diajak bicara. Ia berbicara dengannya dan mendengar pembicaraan itu, baik pembicaraannya muncul tanpa dipikir sebelumnya, atau sebagai jawaban atas pertanyaan secara seketika, serta memberi dan menjawab salam.
  • Ada wali yang naik maqamnya, hingga ia mampu berbicara kepada malaikat dan bercakap-cakap dengannya. Apabila seorang hamba mencapai maqam ini maka ia bisa memanggil dan berhubungan dengannya. Apabila ia hanya berbicara kepadanya, maka malaikat tidak menjawabnya. Tetapi apabila pembicaraan antara mereka benar, mereka akan saling berbicara. Dan apabila ia mengalami hal tersebut, maka malaikat akan menolongnya.
  • Ada wali yang mampu mengatakan sesuatu yang belum terjadi dan memberitakan hal-hal gaib sebelum tampak. Dalam hal ini ada tiga bentuk yang mungkin terjadi; berupa penyampaian, tulisan, dan pertemuan. Ibnu Mukhallad mengalami tiga hal tersebut
  • Ada wali yang disingkapkan baginya alam keraguan, kekurangan, kelemahan, dan rahasia-rahasia perbuatan.
  • Ada wali yang diperlihatkan padanya alam jin dan tingkatan derajatnya, neraka beserta tingkatannya, dan tingkatan azabnya.
  • Ada wali yang mampu mengetahui sifat-sifat manusia. Sebagian manusia tertutup sifatnya dan sebagian lain terbuka. Mereka mempunyai tasbih khusus yang bisa diketahui oleh wali apabila ia mendengarnya. Ibnu 'Arabi berkata, "Kita telah sama-sama menyaksikan karamah seperti ini. Sebagian wali menuju maqam yang mulia sehingga ia mampu mengatakan 'jadilah' maka sesuatu yang dikehendakinya itu terjadi dengan izin Allah. Maqam ini sangat mulia dan merupakan bukti terbesar kewalian seseorang." Nabi Isa a.s. berkata, "Aku bisa menyembuhkan orang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah" (QS Ali Imran [3]: 49). Masuk akal jika Allah memuliakan wali dengan memberinya karamah. Sesungguhnya karamah yang diterima seorang wali merupakan penghormatan kepada Nabi Saw., karena wali tersebut telah mengikuti dan menjalankan ajaran-ajarannya, sehingga ia pantas mendapatkannya.
  • Ada wali yang naik menuju alam gaib, lalu ia melihat di sebelah kanan alam itu, ada sebuah pena yang menulis kejadian-kejadian di lauh mahfud dalam bentuk huruf-huruf yang bersyakal dan bertitik. Hal tersebut untuk membedakan beberapa bentuk dan jenis makhluk. Seperti golongan manusia, makhluk berkaki empat, makhluk bersayap, macam-macam benda mati, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lainnya. Orang yang mempunyai maqam ini selalu berusaha menemukan pemilik huruf yang tertulis dalam susunan yang rapi tersebut. Apabila penelitiannya lama, padahal usianya pendek, maka Allah membuatnya rendah hati dan memohon kepada Allah untuk menghapuskannya.
  • Ada wali yang menjaga diri dari makanan, minuman, dan baju yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya), apalagi dari yang haram. Hal itu ditandai dengan tanda yang ditunjukkan Allah dalam dirinya atau dalam sesuatu yang haram dan syubhat itu. Seperti yang dialami Al-Haris al-Muhasibi, apabila dihidangkan kepadanya makanan yang syubhat, tiba-tiba keluar keringat dari jarinya. Begitu pula yang terjadi pada ibu dari Abu Yazid al-Bustami ketika mengandungnya, tangannya tidak pernah menyentuh makanan syubhat, bahkan tangannya mengenggam sendiri jika menemukan makanan syubhat. Wali lainnya merasa mual memakan makanan syubhat, sehingga memuntahkannya kembali. Ada juga makanan syubhat di hadapan seorang wali berubah menjadi darah, ulat, berwarna hitam, atau babi, dan lain-lain.
  • Ada wali yang apabila menyentuh makanan yang sedikit, maka makanan itu menjadi banyak. Misalnya, seorang wali yang dikunjungi teman-temannya padahal ia hanya mempunyai satu makanan saja. Lalu ia mengiris roti dan menutupinya dengan kain. Maka mereka pun memakan roti itu sampai kenyang padahal roti itu tetap seperti semula (tidak berkurang). Karamah ini merupakan warisan Nabi Muhammad Saw. Contoh lainnya adalah yang terjadi pada Abu' Abdillah al-Tawadi yang membawa secarik kain dan memegang sisinya, kemudian ia menunjukkan ujungnya kepada penjahit sambil berkata kepadanya, "Ambillah kain ini sehingga cukup untuk orang banyak." Kain itu lalu diambil tapi tetap tidak habis-habis dengan izin Allah. Lalu penjahit itu berkata, "Kain ini tidak habis-habis." Lalu Abu 'Abdillah melemparkan kain itu dan berkata, "Sudah, cukup!"
  • Ada wali yang mampu menjadikan satu macam makanan dalam piring menjadi bermacam-macam sesuai dengan keinginan orang yang ada. Hal ini pernah terjadi pada salah seorang guru Abu Madyan r.a. Dalam suatu perjalanan, ia bertemu dengan seorang laki-laki, lalu berjalan bersamanya sebentar dan ia masuk ke rumah perempuan tua di sebuah gua. Sore harinya, ia kembali lagi ke perempuan tua itu dan duduk di sampingnya sampai putra perempuan itu datang. Anak itu mengucapkan salam kepadanya, lalu perempuan tua itu menghidangkan nampan berisi piring dan roti. Syaikh dan anak itu mulai makan. Si syaikh berkata, "Saya ingin yang saya makan ini menjadi begini." Anak itu lalu menjawab, "Wahai Syaikh, dengan nama Allah makanlah apa yang kau inginkan." Abu Madyan kemudian berkata, "Ketika saya terus menerus mengangankan keinginanku, anak itu melontarkan ucapan pertamanya, dan tiba-tiba saya mendapatkan makanan yang saya angankan. Anak itu masih muda, belum punya rambut di pelipisnya."
  • Ada wali yang bisa menjadikan makanan, minuman dan bajunya tergantung di udara. Seperti yang terjadi pada salah seorang wali yang membutuhkan air di padang pasir. Tiba-tiba ia mendengar deringan di atas kepalanya, lalu ia mendongakkan kepalanya, dan di situ ada gelas yang tergantung pada rantai emas. Ia meminumnya lalu meninggalkannya.
  • Ada wali yang bisa merubah air yang pahit dan asin yang ditemukannya menjadi manis dan segar. Ibnu' Arabi berkata, "Saya pernah meminum air semacam itu dari Abdullah, anak Ustaz al-Marwazi r.a., salah seorang khawwash murid dari salah seorang guru Abu Madyan.
  • Ada wali yang memakan makanan dari orang lain. Zaid memakan makanan dari 'Umar padahal 'Umar tidak di hadapannya. 'Umar merasa kenyang di tempatnya dan dia merasakan bau makanan itu seakan-akan dia yang memakannya. Hal ini pernah terjadi pada Al-Hajj Abu Muhammad al-Marwazi dan Abu' Abbas bin Abi Marwan di Ghirnatah. Hal itu terjadi karena ahli ma'rifat ini mempunyai keinginan yang suci dan bersih dari dosa dalam batinnya. Allah memberikan karamah dalam dirinya sebagai penghormatan dan untuk membaguskan maqamnya, maka dari keinginannya itu keluarlah apa yang ia sebutkan.
  • Ada wali yang memakan makanan spiritual yang menjadikan jiwanya kekal. Ia tidak membutuhkan makanan jasmaniah kecuali hanya sedikit untuk mempertahankan dirinya. Kekekalan jiwa bisa tercapai dengan makanan ruhani.
  • Ada wali yang mengetahui rahasia biji-bijian dan penyemaiannya di bumi, hujan yang menyebabkannya tumbuh, angin yang menyebarluaskannya dan apa-apa yang membuat bumi menjadi tenang, serta matahari yang memancarkan cahayanya sebagai makanan bagi tumbuhan. Makanan itu mengandung kesempurnaan seperti yang diusahakan manusia. Pengetahuan tentang ini adalah ilmu yang mulia dan bernilai tinggi yang Allah berikan kepada para wali-Nya.
  • Ada wali yang dikaruniai kemampuan mengetahui hakikat bumi, lapisan-lapisan, dan rahasia-rahasianya, serta segala hukum alam yang ditetapkan oleh Allah secara terperinci.
  • Ada wali yang dibukakan kepadanya alam malakut, rahasia kehidupan, dan pengetahuan yang tersembunyi di dalam air, sehingga ia bisa mengetahui kehidupan yang kasat dan tak kasat mata dan mampu merasakan hal-hal yang berbahaya dan zat-zat yang ada di laut.
  • Ada wali yang mengetahui segala tingkat ilmu, kegunaannya di dunia, siapa yang memiliki dan tidak memilikinya, dan lain-lain.
  • Ada wali yang bisa berjalan di udara. Hal tersebut dialami oleh banyak wali. Ada seorang laki-laki yang melihat orang sedang berjalan di udara, lalu ia bertanya kepadanya, "Karena apa engkau mendapatkan karamah itu?" Ia menjawab, "Kutinggalkan nafsuku untuk menuruti keinginan-Nya, maka Dia menundukkan udara bagiku." Lalu ia berlalu.
  • Ada wali yang dibukakan kepadanya pintu alam ruh di alam malakut, sehingga ia bisa mengetahui hakikat dari rahasia dan cara malaikat naik turun, rahasia pengaturan dan penundukan mereka, kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka.
  • Ada wali yang bisa datang ke lauh mahfuzh melalui esensi hatinya. Lalu dengan izin Allah, ia dapat menyingkap dan menyaksikan secara langsung (musyahadah) hal-hal yang ada di sana, padahal anggota badannya tidak bergerak, kecuali kedua matanya.
  • Ada wali yang terus-menerus bersimpuh di hadapan lauh mahfuzh, padahal tidak ada manfaatnya.
  • Ada wali yang terkadang menyaksikan lauh mahfuzh
  • Ada wali yang bisa melihat bagaimana pena menulis di atas lauh mahfuzh.
  • Ada wali yang melihat gerakan pena di lauh mahfuzh. Setiap maqam mempunyai tata cara yang khusus. Tanda orang yang menyaksikan lauh mahfuzh adalah ia menyebutkan rahasiamu padahal kamu diam saja. Seperti yang dikatakan Al-Junaid r.a. ketika ditanya, "Siapa ahli ma'rifat itu?" Ia menjawab, "Orang yang memberitahukan rahasiamu padahal kamu diam saja." Dan tanda orang yang menyaksikan pena lauh mahfuzh sedang menulis adalah ia bisa mengetahui rahasia yang kamu katakan dalam hati dari manapun asalnya dan sebab adanya.
  • Ada wali yang diperlihatkan oleh Allah rahasia-rahasia yang tersimpan di alam yang paling agung.
  • Ada wali yang diperlihatkan oleh Allah alasan dan sebab terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa. Setelah ia mengetahuinya, ia memikirkan apakah peristiwa itu mempunyai pengaruh atau tidak? Apabila ada pengaruhnya, maka ia bersiap-siap untuk menerimanya. Apabila pengaruhnya merusak, maka ia memperingatkan teman-temannya. Apabila pengaruhnya berupa rahmat atau kabar gembira, maka ia bersiap-siap untuk bersyukur dan memuji Allah. Seperti Ibnu Barjan r.a. yang memberitahukan tahun akan terjadinya penaklukan Baitul Maqdis. Dan pada tahun yang ditentukan, terjadilah apa yang diramalkannya.
  • Ada wali yang diberitahu Allah tentang kelemahan dirinya, apa yang akan ia dapatkan, dan bagaimana keadaannya nanti.
  • Ada wali yang sampai pada keadaan ketika ia tidak melihat seorang pun yang ia ajak bicara kecuali Allah Swt. Ia melaksanakan segala perintah-Nya. Maqam ini adalah maqam yang penting. Orang yang mengalami maqam ini adalah Khair al-Nasaj r.a. ketika terbersit hal tersebut dalam pikirannya, lalu ia diuji dengan bertemu seseorang yang berkata kepadanya, "Kamu budakku, namamu Khair." Nassaj seakan-akan mendengar Allah yang mengatakan ucapan tersebut. Orang itu kemudian mempekerjakan Nassaj selama beberapa tahun, lalu ia berkata kepadanya, "Kamu bukan budakku dan namamu bukan Khair." Lalu orang itu melepaskan Nassaj.
Demikianlah, karamah tidak akan pernah habis untuk diungkap. Karamah-karamah yang disebutkan di atas cukup untuk mencapai tujuan, yaitu agar manusia tidak meremehkan para wali, bersopan santun kepada mereka apabila mendengar perkataan, perbuatan atau keadaan mereka, mematuhi perkataan mereka meskipun belum paham, dan berdamai dengan mereka supaya selamat. Apabila engkau mendengar rahasia Allah yang tersembunyi dalam diri makhluk yang dipilih sesuai dengan kehendak-Nya, maka terimalah dan percayailah, jika tidak, maka kamu tidak akan mendapat kebaikan.
Inilah penjelasan yang saya ambil dari pendahuluan kitab Al-Tabaqat al-Kubra karya Imam 'Abdul Rauf al-Munawi r.a. juga yang telah saya lihat dalam kitab Mawaqi' al-Nujum karya Syaikh al-Akbar

Karamah Sebagai Buah Ketaatan Anggota Tubuh

Dalam kitab al-Futuhat, Ibnu 'Arabi menyebutkan kitabnya yang berjudul Mawaqi' al-Nujum, yang sering dipujinya sebagai kitab yang sangat bagus dalam mengupas masalah karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat. Anggota tubuh itu adalah mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, kaki, dan hati. Apabila masing-masing anggota tubuh menaati hukum syara' dan dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab, maka akan muncul karamah. Dalam kitab tersebut disebutkan berbagai pengetahuan, rahasia ilmu hakikat, dan manfaat ilmu syariat. Saya berusaha meringkas sedikit tentang delapan anggota tubuh dan karamah yang muncul dari nggota tubuh sebagai upaya untuk menyempurnakan manfaat dan untuk mencapai tujuan kami. Dan karena Imam al-Munawi tidak menguraikan arti dari karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat, dalam penjelasan sebelumnya yang diambil dari kitab Mawaqi' al-Nujum, maka di sini saya akan berusaha memaparkannya.
1. Mata
Di antara karamah mata jika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu melihat tamu dari jarak jauh sebelum ia datang, bisa melihat dari balik dinding tebal, melihat Ka'bah ketika shalat, dan lain-lain. Di antara karamah lainnya adalah dapat menyaksikan alam malakut spiritual baik malaikat, penghuni ketinggian (mala'ul a'la), jin, Nabi Khidir, dan para Abdal.
2. Telinga
Bila telinga digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mendengar kabar gembira bahwa sang pemiliknya merupakan salah seorang yang diberi hidayah dan akal oleh Allah. Ini merupakan karamah terbesar, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sebab itu sampaikanlah kabar kembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (QS Al-Zumar [39]: 17-18).
Karamah lainnya adalah dapat mendengar ucapan benda mati, sehingga terdengar semua benda bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang jelas, sebagaimana bahasa manusia.
3 Lidah
Ketika lidah digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menghindari kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mampu berbicara dan bercakap-cakap dengan alam yang lebih tinggi (alam a'la). Jadi, apabila seorang hamba memperoleh karamah atas telinganya, maka ia akan bisa memanggil dan berhubungan dengan para penghuni alam yang lebih tinggi. Apabila ia hanya sekedar berbicara dengannya, penghuni alam itu tidak menjawabnya. Apabila terjadi pembicaraan antara dia dengan mereka, maka kemampuannya berbicara dengan mereka adalah karamah lisan, kemampuannya mendengar ucapan mereka adalah karamah telinga, dan kemampuannya menyaksikan mereka adalah karamah mata. Demikian juga anggota-anggota tubuh lainnya, karena ada hubungan antara anggota-anggota badan dan ketaatan yang dilakukannya. Di antara karamah lainnya adalah mampu mengatakan suatu keadaan sebelum terjadinya, memberitahukan hal-hal gaib, dan akan munculnya benda-benda.
4. Tangan
Di antara karamah yang akan muncul bila tangan dipergunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah munculnya warna putih bersih tanpa noda di tangan ketika dimasukkan ke dalam saku seperti yang terjadi pada Nabi Musa as, memancarkan air di sela-sela jari yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw., melemparkan tanah ke muka musuh, sehingga mereka kalah. Para wali Allah dengan kehendak-Nya mengepalkan tangan ke udara, lalu ketika mereka membukanya muncullah perak, emas, dan lain-lain.
5. Perut
Di antara karamah yang muncul bila perut digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan —tidak termasuk dalam kategori makr dan istidraj— adalah terpeliharanya perut dari makanan, minuman, dan pakaian yang tidak halal dengan munculnya tanda yang disampaikan oleh Allah. Adakalanya tanda itu muncul dalam dirinya sendiri atau dari sesuatu yang bersifat syubhat atau haram, sehingga ia hanya memperoleh sesuatu yang baik saja. Dikisahkan bahwa ketika disajikan makanan syubhat kepada Al-Harits al-Muhasibi r.a., mengucurlah keringat di sela-sela jarinya. Begitu juga yang terjadi pada ibunda Abu Yazid al-Busthami r.a. ketika sedang mengandung Abu Yazid, tangannya tidak pernah menyentuh makanan haram. Pada wali lain, muncul suara yang berkata "jauhi". Wali lainnya jatuh pingsan ketika menemukan makanan yang tidak halal. Ada juga wali yang
makanan haram di hadapannya berubah menjadi darah, berwarna hitam, seekor babi, dan lain-lain yang Allah khususkan bagi para wali dan orang-orang suci-Nya.
Karamah lain yang muncul karena ketaatan perut adalah makanan yang sedikit bisa mengenyangkan orang banyak. Ini merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah menggelar sebuah tikar kulit dan didatangi oleh pemilik gandum dengan memberikan setangkai gandumnya dan pemilik biji-bijian dengan memberikan setangkai biji-bijiannya, hingga terkumpullah sedikit makanan. Beliau berdoa agar makanan itu diberkati, lalu orang-orang mengisi tempat yang mereka bawa dengan makanan itu sampai penuh, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih riwayat Muslim.
Karamah perut yang lainnya adalah dapat membuat satu macam makanan di atas piring menjadi berbagai macam jenis makanan sesuai dengan keinginan orang-orang yang hadir di tempat itu. Termasuk karamah perut lainnya adalah didatangi jin atau raja yang membawakan makanan, minuman, dan pakaiannya, atau menggantungkannya di udara.
Karamah lain dalam maqam ini adalah mampu mengubah air minum yang asin dan pahit menjadi manis. Ibnu 'Arabi berkata, "Saya pernah meminum minuman seperti itu dari tangan Abu Muhammad 'Abdullah bin Ustad Al-Marwazi Al-Hajj, termasuk murid khusus Abu Madyan r.a., beliau selalu disebut sebagai Al-hajj al-mabrur. Makanan halal itu adakalanya diperoleh dengan bekerja atau dengan menjauhi dosa-dosa, seperti yang dikatakan beberapa syaikh, "Ahli ma'rifat adalah orang yang tidak memadamkan cahaya ma'rifatnya sebagai cahaya wara'nya, maka ketika diperoleh barang halal, sedikit saja cukup baginya. Bila ia melaksanakan hal ini, maka tumbuh dalam batinnya keinginan melakukan perbuatan baik yang diwujudkan Allah dalam jiwa hamba ini sebagai karamah karena kedudukan dan kejujurannya." Dan dari kehendak kuat itu keluar semua yang telah kami sebutkan dan banyak karamah yang belum terlintas dalam benak manusia.
6. Kemaluan
Di antara karamah yang dihasilkan ketika kemaluan dipergunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah anugerah dari Allah berupa rahasia menghidupkan orang-orang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan penderita lepra, dan meninggalkan semua perkara yang membuatnya melupakan Allah. Allah berfirman, Dan Maryam puteri 'Imran yang memelihara
kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh Kami (QS Al-Tahrim [66]: 12). Dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam (QS Al-Anbiya' [21]: 91). Dalam hal ini, Ibnu 'Arabi juga telah menjelaskan secara mendalam hubungan-hubungan lain antara ketaatan anggota tubuh dan karamah yang dikeluarkannya, hikmah-hikmah dan rahasia ilmu hakikat
7. Kaki
Di antara karamah yang akan muncul jika digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan ada-lah mampu berjalan di atas air, dapat mengelilingi bumi, dan berjalan di udara. Hikayat-hikayat tentang maqam ini sangat terkenal, saking terkenalnya hingga tidak perlu lagi kami jelaskan di sini. Kitab-kitab kumpulan syair dipenuhi hikayat-hikayat tentang karamah ini. Karena Allah Swt. adalah pemilik para wali, maka Dia memunculkan semua karamah ini bersama mereka. Ibnu 'Arabi menyatakan, "Kami telah menyaksikan dengan jelas penempuh jalan ini berjalan di atas air dan di udara, dan dapat melipat bumi."
8. Hati
Di antara karamah hati ketika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Ibnu 'Arabi berkata, "Ketahuilah anakku, Allah telah menolongmu, menerangi hatimu, melapangkan dadamu, dan menyucikan pakaian serta hatimu. Segala karamah yang berkaitan dengan anggota tubuh lainnya merujuk dan kembali kepada hati. Kalau tidak ada hati, maka seluruh anggota tubuh lainnya tidak berarti. Setiap perbuatan berasal dari hati, kalau tidak didasari keikhlasan sebagai aktivitas hati, maka amal tersebut bagai debu beterbangan, tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan kebahagiaan."
Allah berfirman, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Dan Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah kepada dunia dan perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya." Dari sini jelaslah bahwa sudi dan ternodanya semua perbuatan lahir maupun batin tergantung
pada hati. Jadi, gerakan atau diamnya anggota tubuh untuk menaati syariat dan melakukan maksiat hanya berdasarkan pada perintah dan
kehendak hati.
Gagasan muncul pertama kali di dalam hati. Apabila hati ingin mewujudkan gagasan itu, maka ia mempertimbangkan anggota tubuh mana yang sesuai untuk melakukan gagasan itu, lalu hati menggerakkan anggota tubuh yang dipilihnya untuk mewujudkan gagasan itu, baik untuk ketaatan maupun kemaksiatan, dan atas anggota tubuh itulah pahala dan siksa diberikan. Tidakkah kamu merenungkan bagaimana Allah menganggap pandangan pertama kepada seorang perempuan bukan muhrim yang dilakukan tanpa sengaja dan tidak diniati dalam hati sebagai suatu hal yang dimaafkan dan tidak dikenai siksa?
Demikian pula ketika seorang hamba melakukan perbuatan salah tanpa sengaja, maka Allah benar-benar telah mengampuni perbuatannya itu, sebagaimana bila hati menghendaki dan berniat melakukan kemaksiatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka niatnya itu tidak ditulis dan tidak dihitung, selama belum dilakukan atau hanya sebatas ucapan semata. Adapun jika hati berniat melakukan ketaatan, maka ia akan diberi ganjaran sesuai dengan niat dan harapannya, meskipun ia belum melakukan ketaatan yang telah diniatkannya, niatnya telah ditulis sebagai kebaikan. Bila kamu meyakini hal ini, maka tetaplah yakin bahwa hati adalah pemimpin raga. Seluruh karamah yang muncul dari anggota tubuh merujuk kepada hati, dan hati itu sendiri dapat memunculkan karamah-karamah tertentu.
Karamah hati lainnya adalah Allah Swt. memperlihatkan kepadanya semua yang tersimpan di dunia, berupa rahasia-rahasia, alasan dan sebab perintah-Nya, atau apa pun yang mewujud dalam alam, baik spiritual maupun non spiritual, seperti yang sudah dijelaskan oleh Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi.

Penutup

Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r .a. menjelaskan bahwa terlipatnya bumi (menempuh jarak bumi dalam sekejap) bagi ahlul mujahadah (perang besar melawan nafsu) yang mempunyai kemampuan luar biasa adalah tanda kesungguhan dan kegigihan mereka dalam beribadah dan bekerja, karena Allah Yang Maha Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Waspada, menyimpan hikmah dalam setiap munasabah (kesesuaian), itulah yang menjadi landasan kitab ini (Mawaqi' al-Nujum). Suatu maqam tidak akan diperoleh, kecuali jika ada kesesuaian
antara maqam itu dan sifat yang kita punya. Seperti halnya mata, jika kita menggunakannya sesuai dengan perintah Allah Swt., baik yang wajib maupun yang sunnah, dan bersegera menggunakan-nya dengan sebaik-baiknya, maka mata akan dapat bermusyahadah.
Apabila kita diberi kemampuan munajat (doa dalam bentuk percakapan intim antara Allah dan manusia), maka jiwa akan merasa bahagia dari segi pendengaran (telinga) bukan penglihatan (mata). Mata tidak bisa merasakan kenikmatan munajat, karena hakikat fungsi mata adalah melihat dan mata tidak mengenal munajat, pembicaraan, dan lain-lain. Pahala yang diberikan Allah Swt. senantiasa sesuai dan cocok dengan yang menerimanya, karena Dia senantiasa meletakkan sesuatu pada tempatnya (Maha Adil). Allah tidak menjadikan musyahadah sebagai pahala bagi telinga dan munajat sebagai pahala bagi mata karena hakikatnya bukan begitu. Meskipun kita menganggap logis bahwa mata bisa mendengar, pada hakikatnya kemampuan mendengar itu bukan dilakukan oleh mata, tetapi dilakukan oleh telinga. Mata berfungsi untuk melihat dan musyahadah. Jika seorang wali hanya memiliki satu sarana pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh sebagian wali, maka ia bisa mendengar dengan matanya dan melihat dengan telinganya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan.
Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya (rasikhuna fi al-'ilmi). Apabila demikian, maka apa manfaatnya mata jika belum pernah merasakan musyahadah. Oleh karena itu, bisa ditetapkan bahwa kemampuan seorang hamba untuk melipat bumi (mengelilingi bumi dalam sekejap) dalam alam kabir merupakan hasil dari kemampuannya melipat unsur tanah dalam dirinya dengan melakukan mujahadah dan macam-macam ibadah serta menjaga kesucian dan menahan lapar selama bermalam-malam. Begitu juga kemampuan berjalan di atas air bagi orang yang memberi makan orang yang membutuhkan, memberi pakaian orang yang telanjang, baik dari hartanya maupun karena gaji atas kerja mereka, mengajar orang yang bodoh, dan memberi petunjuk kepada para pencari ilmu. Kedua kemampuan ini merupakan rahasia dua kehidupan, baik kehidupan panca indra maupun kehidupan ilmiyah. Ada hubungan yang jelas antara dua kehidupan di atas dengan air. Barang siapa mampu menguasai dua kehidupan itu, maka ia bisa menguasai air. Kapan pun ia mau, ia bisa berjalan di atasnya.
Begitu pula kemampuan menghidupkan orang yang mati dalam kehidupan ilmiah. Akan tetapi, Ibnu 'Arabi tidak begitu yakin dengan
karamah ini. Ibnu 'Arabi hanya mengatakan bahwa apabila hal itu terjadi, inilah sebab-sebab, asal, dan sumbernya. Apabila hal tidak terjadi, berarti itu bukan bagian orang 'arif. Bagiannya hanya pada kedudukan dan rahasia-rahasianya saja. Sebagaimana orang yang mampu berjalan di udara. Ia tidak bisa melakukan hal itu, kecuali jika ia meninggalkan nafsunya untuk mengikuti keinginan Allah.
Ibnu 'Arabi pernah terlihat berjalan di udara, kemudian ia ditanya, "Dengan cara apa kamu memperoleh karamah ini?" Ia menjawab, "Kutinggalkan nafsuku untuk melaksanakan keinginan-Nya, sehingga Allah menundukkan udara untuk-ku." Dalam pengetahuan tentang munasabah, ilmu dan hikmah merupakan ketetapan logika dan ketetapan ilahiyah yang mengandung hikmah.
Barangsiapa berpendapat bahwa Allah Swt. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal di atas, berarti ia tidak mempunyai pengetahuan tentang letak-letak hikmah. Allah berfirman. Makan dan minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (QS Al-Haqqah [69]: 24), yakni hari-hari puasa. Allah tidak berfirman saksikanlah atau dengarlah, karena itulah balasan yang sesuai atas puasa yang telah mereka lakukan.
Allah berfirman, Pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini (QS Al-A'raf [7]: 51); Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, maka pada hari ini kamu pun dilupakan (QS Thaha [20]: 126); Jika kamu mengejek Kami, maka Kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek Kami (QS Hud [11]: 38); Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman (QS Al-Muthaffifin [83]: 29). Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman tentang balasan untuk orang-orang kafir, Pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir (QS Al-Muthaffifin [83]: 34)). Lalu Dia menyempurnakan firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi balasan atas apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Muthaffifin [83]: 36). Allah membalas olok-olok orang-orang munafiq kepada orang-orang mukmin sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Allah membalas olok-olok mereka (QS Al-Baqarah [2]: 15). Ayat ini jawaban atas ayat sebelumnya, Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok. (QS Al-Baqarah [2]: 14) ^ fl i
Sebagian syaikh mimpi bertemu Muhyiddin Ibnu 'Arabi, lalu mereka bertanya, "Apa yang Allah lakukan kepadamu?" Ibnu 'Arabi
menjawab, "Dia mengasihiku dan berkata kepadaku, 'Makanlah hai orang yang tidak makan! Minumlah hai orang yang tidak minum!'"
Mengapa Allah tidak mengatakan, "Makanlah, hai orang yang menghabiskan malam dengan membaca Al-Qurvan! Minumlah, hai orang yang melewati hari-hari melelahkan!" Inilah kesesuaian yang dianugerahkan Allah sebagai hikmah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia mengurutkan sesuatu sesuai dengan urutannya, dan hanya sedikit pengetahuan tentang keruntutan yang kita peroleh.
Ketika Ibnu 'Arabi membicarakan tentang astronomi, ia berkata, "Sesungguhnya Allah tidak membuat sesuatu itu sia-sia, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau (QS Ah 'Imran [3]: 191); Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya itu tanpa hikmah. Itu adalah anggapan orang-orang kafir (QS Shad [38]: 27); Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main (QS Al-Anbiya' [21]: 16)."
Setiap wujud pasti mengandung hikmah bagi orang yang mengetahuinya, yang tidak akan diketahui orang bodoh. Dua wujud tidak akan menyatu dan bergabung, kecuali jika ada kesesuaian antara keduanya, baik tampak maupun tidak tampak. Apabila hal tersebut dicari dengan teliti, niscaya akan kelihatan. Seperti hikayat Imam al-Ghazali, salah seorang pemimpin dan penghulu tariqah. Al-Ghazali bisa melihat kesesuaian itu dan mengemukakannya. Pada suatu hari, ia melihat merpati dan gagak di Quds, keduanya saling mengendus, berkasih sayang, dan tidak bermusuhan. Al-Ghazali kemudian berkata, "Keduanya berkumpul karena ada kesesuaian antara keduanya." Ia menunjuk kedua burung itu dengan jari, lalu kedua burung itu berjalan bersama. Lalu masing-masing terbang.
Begitupula seorang penghulu syaikh di wilayah barat, Abu al-Naja yang terkenal dengan nama Abu Madyan, telah mengalami hal ini. Pada suatu hari, Abu Madyan menemukan suatu ide. Lalu Abu Madyan bertemu seseorang yang seide dengannya, tetapi ia merasa tidak senang dengan orang itu, maka ia menanyainya, dan ternyata orang itu musyrik. Karena Abu Madyan mengerti ilmu munasabah, maka ia meninggalkan orang itu.
Munasabah (kesesuaian) ada dalam hubungan antara segala sesuatu, dan pengetahuan tentangnya merupakan maqam pengikut tariqah yang khawwash (khusus). Munasabah bersifat sangat samar dan ada dalam segala sesuatu, bahkan antara sebuah nama dan yang
mempunyai nama itu. Meskipun Abu Zaid al-Suhaili tampak asing bagi para pengikut tariqah ini, tetapi dalam kitab Al-Ma'arif wa al-I'lam, ia telah menunjukkan munasabah dalam nama Nabi Saw., "Muhammad" dan "Ahmad". Dia menyatakan bahwa ada munasabah (kesesuaian) antara perbuatan dan akhlak Nabi Saw. dengan nama "Muhammad" atau "Ahmad". Orang-orang yang berbicara tentang munasabah biasanya adalah para tokoh dari kalangan orang-orang yang dekat dengan Allah, beradab tinggi, serta menyibukkan diri dan hal mereka di jalan Allah.. Demikian penjelasan Ibnu 'Arabi dalam kitab Mawaai' al-Nujum.
Dalam bab 184 kitab Al-Futuhat al-Makiyyah, Ibnu 'Arabi menjelaskan bahwa karamah merupakan kebenaran dari nama Allah, Al-Birru (Yang Maha Baik) dan hanya muncul pada hamba-hamba-Nya yang baik sebagai pahala yang setimpal dengan amal mereka. Sesungguhnya munasabah menuntut adanya karamah meskipun tidak ada tuntutan bagi orang yang mempunyai karamah. Karamah ada dua macam, hissiyah dan ma'nawiyah.
Orang-orang awam hanya bisa mengetahui karamah yang bisa diindra (hissiyah), contohnya berbicara lewat hati, memberitahu hal-hal gaib yang sudah terjadi dan kejadian yang akan terjadi, memperoleh rezeki dari alam, berjalan di atas air, menundukkan udara, melipat bumi, menutup penglihatan, terkabulnya doa seketika, dan lain-lain. Adapun karamah ma'nawiyah hanya diketahui oleh orang-orang khawwas. Hal itu karena orang-orang khaiuwas selalu menjaga etika syariat, berakhlak mulia, menghindari akhlak yang buruk, selalu menunaikan kewajiban secara mutlak dan tepat waktu, segera mengerjakan kebaikan, menghilangkan dengki, iri, dendam, dan buruk sangka terhadap orang lain dari dalam hati, menyucikan hati dari segenap sifat tercela dan menghiasinya dengan selalu memelihara jiwa, menjaga hak-hak Allah dalam dirinya dan dalam segala sesuatu, mencari jejak-jejak Allah dalam hatinya, memelihara jiwa dari masuk dan keluarnya jejak-jejak itu.
Semua itu adalah karamah para wah yang bersifat ma'nawi yang tidak bisa dimasuki makr dan istidraj. Karamah ma'nawi menunjukkan bahwa wah yang memilikinya telah memenuhi janji, mempunyai niat yang baik, ridha dengan ketentuan Allah terhadap apa yang hilang dan sesuatu yang dibencinya. Karamah semacam ini hanya bisa dimiliki oleh para malaikat yang dekat dengan Allah dan manusia-manusia terbaik pilihan-Nya
Karamah yang bisa diketahui oleh orang awam bisa dimasuki makr yang tersembunyi. Karena itu, menurut kami, karamah harus bisa
menghasilkan sikap istiqamah atau istiqamah akan menghasilkan karamah. Jika tidak demikian, tidak bisa disebut karamah. Jika karamah bisa menghasilkan sikap istiqamah, maka mungkin Allah menjadikan karamah itu sebagai pahala dan balasan atas perbuatanmu. Dengan kata lain, Allah memberikan perhitungan kepadamu dengan karamah ma'nawiyah. Karamah ma'nawiyah tidak mungkin dimasuki makr yang tersembunyi Kekuatan dan kemuliaan ilmu memberimu kemampuan untuk menangkal makr sehingga tidak masuk ke dalam karamah ma'nawiyyah.
Hukum-hukum syara' tidak bisa dimasuki perangkap makr. Karena hukum-hukum syara' merupakan sarana yang jelas untuk mendapat-kan kebahagiaan, sedang ilmu menjagamu agar tidak sombong dengan perbuatanmu. Salah satu kelebihan ilmu adalah ia menjagamu, dan apabila ia menjagamu, maka kamu akan selamat dari kesombongan, mendekatkanmu kepada Allah, dan memberitahukan kepadamu bahwa pertolongan dan petunjuk-Nya akan muncul dari dirimu. Ilmu akan menjaga hukum-hukum syara'.
Apabila muncul karamah dalam diri seorang wah, ia takut kepada Allah dan memin ta-Nya untuk menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu. Para ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu, sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma'rifat), tidak cukup hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu tentang Allah (ma'rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali.
Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia menjawab, "Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah."Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang yang mampu
melayang di udara. Ia menjawab, "Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah."
Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, "Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan untuk mengetahui rahasia-Mu." Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya.
Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin melaksanakan ibadah sunnah.
Banyak cara mendapatkan ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, hari akhir, sebab-sebab dan tujuan dunia diaptakan, sehingga manusia bisa memikirkan asal-usulnya dan mengenal diri serta aktivitasnya. Ilmu merupakan sifat segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Ilmu adalah rahmat Allah yang paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi [18]: 65). Ilmu adalah sumber rahmat.
Saya telah menjelaskan makna karamah. Karamah adalah pengetahuan ilahiyah yang diberikan kepadamu sebagai karamah dari-Nya. Dengan karamah itu, Allah tidak mengurangi pahala akhiratmu dan karamah itu juga bukan balasan atas perbuatanmu, tetapi balasan karena kamu mendatangi Allah. Kamu mendatangi Allah karena ketidaktahuanmu, karena kamu tak melihatnya di awal kedatanganmu.
Hal ini pernah terjadi pada Abu Yazid, ketika ia keluar mencari Allah di Bustam untuk pertama kali. Abu Yazid bertemu seseorang dan ia ditanya, "Wahai Abu Yazid, apa yang kau cari?" Abu Yazid menjawab, "Allah." Orang itu berkata lagi, "Yang kau cari itu kau tinggalkan di Bustam." Dari jawaban itu, Abu Yazid sadar mengapa ia mencari Allah padahal Dia telah berfirman, Dia bersamamu di mana pun kamu berada. Jadi dalam hal ini, tidak ada ilmu dan tidak ada
iman. Apabila Allah mengharamkanmu untuk mencapai ilmu musyahadah, itu bukan berarti keimananmu kepada-Nya lebih kecil. Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa hanya orang yang tidak mengetahui Allah, yang berusaha mencari-Nya. Kelompok orang seperti ini berbuat karena Allah dan untuk mencari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mendatangi Allah, sehingga Dia mendekat kepada mereka sebagai-mana mereka mendekati-Nya, dan Dia memberitahu mereka bahwa kedatangan mereka itu dibolehkan secara khusus, meskipun mereka belum mengetahui hal itu dari-Nya melalui pemberitahuan kepada mereka karena dikhawatirkan ada makr ilahi di dalamnya, atau akan mengurangi pahala akhirat. Mereka mengharapkan akhirat karena mereka belum diberi tatkala di dunia. Allah hanya menyatakan kebenaran dan Dia memberi petunjuk. Demikianlah penjelasan Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a..«
                    Dipostkan Oleh:H.Lahamuddin Magga Jeneponto